Tuesday, November 1, 2011

IR. TIUR SIMANJUNTAK, DALAM KENANGAN


Tahun 2000 nanti, Presiden Indonesia harus lulus Teori Medan,” ujar Ir. Tiur Simanjuntak ketika memberi kuliah Teori Medan di FTUI tahun 1976.

Nama Tiur Simanjuntak tentunya tidak asing lagi bagi anak elektro UI yang menjadi mahasiswa beliau di sekitar tahun 1974-1976 dan mahasiswa elektro ITB tahun 60-an. Tiur semasa itu mengajar mata kuliah Teori Medan yang terkenal sulit lulusnya, entah karena memang materinya berat atau karena sang dosen sulit meluluskan mahasiswanya. Yang jelas, stigma dosen killer telah melekat di diri Tiur Simanjuntak. Dan karena alasan itu pula kabarnya Tiur dicopot dari statusnya sebagai dosen Teori Medan di ITB dan hengkang ke UI berbarengan dengan diterimanya beliau bekerja di PT Elnusa.

Di mata saya, begitu juga bagi sejumlah teman lainnya, mengikuti kuliah Tiur Simanjuntak amatlah menarik, bertolak belakang dengan tingkat kelulusannya. Beliau selalu mengawali kuliahnya dengan obrolan seputar aspek politik, sosial dan ekonomi yang disampaikan secara blak-blakan dan penuh guyon. Mengikuti kuliahnya ibarat melibatkan diri dalam dialog dan banyolan segar. Tidak jarang guyonannya menyerempet SARA, tetapi karena disampaikan dalam nuansa guyon, mahasiswa yang terkena justru meresponnya dengan ikut tertawa bersama peserta kuliah lainnya.

Tiur terkesan sangat mengagumi almamaternya, ITB. Sekali waktu dalam kuliahnya beliau berkata bahwa setiap mahasiswa baru ITB akan disambut dengan spanduk bertuliskan “Selamat Datang Putra Putri Terbaik Indonesia”. Sementara di UGM mahasiswa barunya akan disambut dengan spanduk “Selamat Datang di Kampus Tertua di Indonesia”.

“Nah, di UI mahasiswa barunya disambut dengan apa?” tanya Tiur.
Seorang teman menjawab, “Selamat Datang di Kampus Perjuangan.”
“Oh begitu, kampus perjuangan ya?”
“Oke, sekarang saya mau tahu apa anak UI juga pintar seperti anak ITB,” sahut beliau.
“Coba kamu maju, selesaikan soal PR teori Gauss yang saya berikan minggu lalu,” kata Tiur sambil menunjuk salah seorang teman yang duduk di bangku depan.

Kami diam-diam bersyukur karena yang ditunjuk Tiur justru teman yang pintar dan terkenal rajin mengerjakan PR dari dosen. Dugaan kami terbukti benar, sang rekan bisa menuliskan jawaban soal tersebut dengan baik di papan tulis. Tiur pun manggut-manggut sambil berkomentar “hem, boleh juga rupanya anak UI. Pintar kayak Gauss.”
Rekan kami tersebut tersenyum senang karena dipuji, tapi sesaat kemudian mukanya berubah jadi merah padam karena Tiur melanjutkan ucapannya, “yaa … maksud saya Gauss pinggiran.”
Seisi kelas pun jadi riuh dengan tawa.

Sekali waktu Tiur menggambarkan peta Indonesia di papan tulis dan melingkari daerah sekitar Sumatera Utara (yang dimaksudnya tentu kota MEDAN), sambil berkomentar, “dari seluruh pulau di Indonesia cuma disinilah lahirnya orang-orang yang pintar.”
Kami semuanya cuma tertawa saja sambil menunggu kelanjutan ceritanya.

Di Indonesia ini yang bodoh itu orang Jawa. Coba, mana yang Jawa. Ayo ngacung!” ujar Tiur lagi. Beberapa teman mengangkat tangannya sambil malu-malu.

Kalian ngga percaya ya? Saya ngga asal ngomong. Ini saya kasih buktinya.”
Kalian tahu kan, kabel listrik tegangan tinggi itu harganya mahal, jutaan rupiah?”
“Nah, kabel itu dicolong oleh orang Jawa untuk dilebur dan ditempa menjadi gong. Terus dijual dengan harga beberapa puluh ribu. Apa ngga bodoh itu?” kata Tiur sambil senyum-senyum.
Kami seisi kelas jadi tertawa mendengar guyonan yang nyerempet SARA ini.

Tiur yang mengaku desersi dari AURI (karena melawan atasan) saya pikir termasuk kategori dosen yang sangat cerdas. Dari komentar-komentar konyolnya di depan kelas, sesungguhnya tersirat kekritisannya terhadap berbagai aspek kehidupan.

Di tahun 1976 Tiur sudah memprediksi bahwa jalan raya di DKI suatu waktu bakalan tidak tertolong. Sekali waktu, Tiur membuka kuliahnya dengan mengomentari perilaku pengendara mobil di lampu merah Taman Sunda Kelapa, Menteng. Beliau mengamati mengapa di lampu merah seringkali terjadi kemacetan. Akhirnya beliau menemukan penyebabnya, yaitu perilaku para pengendara itu sendiri. Mobil-mobil yang lewat di jalan yang terdiri dari dua jalur, ketika berhenti di lampu merah, memaksakan maju ke baris depan sehingga bisa menjadi 4 jalur. Nah, begitu lampu berubah hijau, semua mobil yang di depan tidak mau kalah, berbarengan maju. Karena jalan di hadapan hanya terdiri dari dua jalur, tentu saja terjadi penyempitan jalan sehingga arus mobil tersendat. Jadi mesti ada pengendara yang mengalah, supaya arus lalu-lintas bisa lancer kembali. Di mata Tiur egoisme pengendara itulah sumber kemacetan di jalan raya. Prediksi Tiur bahwa jalan raya di ibukota nantinya akan semakin parah, sudah terbukti.

Tapi komentarnya yang paling berkesan bagi saya adalah ketika beliau berkata bahwa “tahun 2000 Presiden Indonesia harus lulus Teori Medan”. Seisi kelas jadi riuh dengan tawa. Kali ini Tiur kebangetan khayalnya. Tapi Tiur punya alasan kuat dengan ucapannya.
Teori medan adalah sumber dari segala ilmu untuk menyelesaikan persoalan di dunia,” katanya dengan bangga.
Saat itu kami semua ketika itu tidak pernah menanggapi ucapannya dengan serius. Kami hanya menduga bahwa beliau saking kesalnya sama pak Harto, mengeluarkan statement konyol itu.

Tapi kini kalau direnungkan secara mendalam, apa yang disampaikan Tiur mungkin ada benarnya. Teori Medan adalah mata kuliah yang mengajarkan teori dan pemahaman tentang frekuensi dan gelombang. Materi kuliahnya memang berat, karena membahas teori-teori listrik dan magnet yang cukup mendalam. Mahasiswa dijejali dengan teori-teori Newton, Maxwell, Gauss, Biot-Savart, Lorentz dll yang memerlukan kerja keras untuk memahaminya.
Kita lihat belakangan ini bermunculan sejumlah buku yang membahas hukum tarik-menarik (law of attraction) dan hukum resonansi (law of resonance) yang dikaitkan dengan aspek kehidupan sehari-hari. Itu semuanya akan lebih mudah dipahami bagi mereka yang paham Teori Medan.

Salah seorang bekas mahasiswa Tiur di ITI Serpong bercerita bahwa Tiur pernah bertanya kepada mahasiswanya yang beragama Islam, apa paham dengan hukum fisika ketika melakukan tawaf di Mekkah? Si mahasiswa yang tidak bisa menjawab, hanya bisa bengong ketika Tiur menjelaskan bahwa prosesi tawaf mengelilingi Ka’bah berlawanan arah jarum jam itu memenuhi kaidah tangan kanan (teori induksi magnet yang diajarkan dalam kuliah Teori Medan). Jadi analoginya, orang-orang yang berdoa sambil tawaf akan mengeluarkan energi doa positif keatas dan menimbulkan kontak dengan Allah.
Apa yang disampaikan Tiur secara singkat itu bisa kita baca lebih detil dalam bukunya Agus Mustofa, “Pusaran Energi Ka’bah”.

Dua bulan yang lalu saya sebetulnya sudah berniat untuk menyambangi Tiur yang masih aktif mengajar di ITI Serpong, sekedar untuk silaturahmi dan memberikan apresiasi atas apa yang telah beliau ajarkan 34 tahun yang lalu. Namun saya tidak serius untuk merealisasikan niat tersebut. Barulah tgl 27 Januari lalu saya menyempatkan diri menelpon ke jurusan elektro ITI, guna menanyakan hari apa beliau mengajar di Serpong.
Namun jawaban yang saya peroleh sungguh mengejutkan. Bapak Tiur Simanjuntak rupanya telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa, pada hari Minggu, 19 Desember 2010 dalam usia 71 tahun.
Saya hanya bisa menyesali diri mengapa tidak dari kemaren-kemaren menghubungi beliau, tapi tokh tidak ada gunanya.

Selamat jalan pak Tiur. Semoga para murid-muridmu dapat mengamalkan ilmu Teori Medan dalam kehidupan yang semakin keras ini.


Ciputat, 1 Februari 2011.

No comments:

Post a Comment