Wednesday, November 2, 2011

Mengenang Bioskop di kota Padang awal 70 an

Bioskop RAYA pasca gempa 30 September 2009

Bernostalgia tentang masa lalu yang indah pastinya merupakan hal yang menyenangkan. Itu terjadi sewaktu saya melintas di depan bioskop Raya Padang beberapa hari setelah gempa besar menimpa kota Padang 30 September lalu.

Di awal tahun 1970 an peran bioskop sebagai sarana hiburan masyarakat kota Padang boleh dikatakan sangat menonjol. Tidak jarang liburan akhir minggu keluarga dilakukan di bioskop, terutama jika ada film favorit yang diputar matinee (jadwal tayang Minggu pagi/siang). Alasannya sederhana, ketika itu siaran televisi belum masuk ke Sumatera, dan itupun baru ada siaran TVRI hitam putih.

Bioskop KARIA, tampak retak-retak akibat gempa.
(Foto: 4 Oktober 2009)
Pada periode 1970 an selain bioskop Raya (dulu dikenal sebagai Capitol), di kota Padang juga ada bioskop Karia (populer dengan nama Cinema), Satria (alias Apollo), Mulia (disebut juga Rio), Purnama, New Rex (awalnya bernama Reno dan setelah New Rex diganti lagi menjadi Kencana).
Mayoritas bioskop kota Padang berlokasi di daerah Pondok (Pecinan), seperti Karia, Satria, Nex Rex dan Purnama. Disamping bioskop diatas, belakangan muncul bioskop kategori “misbar” (gerimis bubar) seperti bioskop Dodik di Simpang Haru dan bioskop Imam Bonjol. Waktu itu Padang Theatre dan Indah Theatre belum ada.
Bioskop MULIA di kawasan Pasar Baru, dulu tempat favorit untuk menonton film India.

Film Favorit di tahun 70 an
Sejak di SMP saya cukup sering menonton di bioskop bersama teman-teman sepermainan di kompleks perumahan Air Tawar. Saya hampir tidak pernah nonton film bersama teman sekolah. Film yang digemari anak muda umumnya adalah film-film kung-fu produksi Shaw Bros dan film koboi Italia.
Bintang film laga Cina yang jadi favorit di akhir 1960 an antara lain Wang-Yu (pemeran Chinese Boxer), Ti Lung, David Chiang, Lo Lieh, Cheng Kuan Thay, aktris cantik Cheng Pei-Pei dan Siao Fang-Fang. Belakangan muncul aktor Bruce Lee yang menggemparkan publik dengan film Big Boss di tahun 1971.
Tapi jangan diartikan bahwa hanya film kungfu saja yang digandrungi. Ada pula masa dimana film koboi Italia yang mendominasi bioskop di kota Padang dengan aktor ganteng Guliano Gemma, aktor berwajah dingin Anthony Steffen dan Franco Nero serta Fernando Sanchez. Film koboi ala Italia ini disindir oleh almarhum ayah saya karena lebih mengetengahkan duel tembak-tembakan dan jarang menampilkan cow (sapi) nya. Beda sekali dengan film koboi bikinan Hollywood yang tidak sekedar dar der dor belaka.
Film koboi Italia yang sempat populer adalah serial Django dan Ringo sehingga anak-anak muda di jaman itu menggemari celana jean merk “Lee” dan “Saddle King”.
Pengaruh film kung-fu juga bisa dilihat dari populernya sepatu beludru dengan tapak kaki tipis yang disebut sepatu “Wang Yu” dan belakangan sepatu “Big Boss”.
Di sisi lain, film India memiliki penggemar tersendiri yang seolah tidak terpengaruh oleh film koboi atau kung-fu. Bioskop Mulia setahu saya merupakan bioskop yang paling rajin memutarkan film-film India yang sangat jarang saya tonton.
Segmen film kategori dewasa ketika itu masih didominasi film-film Sophia Lorenz dan Gina Lolobrigida. Belakangan muncul nama Edwidge Fenech yang namanya melejit sejak film "Private Teacher" yang dianggap berani pada jamannya. Bicara aktris Edwidge Fenech, saya pernah diajak kabur dari Padang ke Bukittinggi dengan membonceng motor Yamaha engkel teman sekelas di SMA (orangnya ada di FB ini dan sudah jadi dokter beken, he he..). Sesampainya di Bukittinggi tahu-tahu diajak masuk ke bioskop Eri yang sedang memutarkan film Edwidge Fenech. Namanya anak muda, film beginian pantang ditolak. Tapi ngga sampai kelar, kita keluar dan balik ngebut ke Padang. Soalnya takut kemalaman pulangnya, kalau ketahuan ortu bisa berabe urusannya.

Reklame film di era 60-70 an dilakukan bukan semata-mata melalui koran, tapi juga menggunakan mobil keliling, biasanya di sore hari. Maka kalau terdengar suara halo-halo dari mobil keliling di jalan raya, anak-anak berlarian mendekati untuk memperebutkan selebaran iklan film yang dilempar dari atas kendaraan yang berjalan lambat itu. Melalui mikrofon di mobil keliling tersebut disampaikan juga resume film dan nama bintang filmnya. Kalau film India biasanya ditambah embel-embel “jangan lupa bawa saputangan” karena filmnya adalah film sedih.

Seninya Nonton di Bioskop Masa Lalu
Menonton film di akhir 60 an hingga 70 an jangan dibayangkan seperti menonton di Studio 21 atau Cinema 21 sekarang ini. Kenyamanannya jauh dari itu karena bioskop belum pakai AC atau kursi empuk. Belakangan bioskop Reno yang direnovasi menjadi New Rex Theatre mulai memperkenalkan era bioskop ber AC dan kursi sofa di Sumbar.
Seingat saya hampir semua kursi bioskop terbuat dari jalinan rotan yang merupakan sarang kutu busuk (istilah Minangnya, kapindiang). Jadi bagi mereka yang menonton dengan bercelana pendek, siap-siap sajalah untuk merasakan pedihnya gigitan kutu busuk yang membuat paha jadi bentol-bentol merah. Tidak jarang, untuk mengurangi risiko gigitan kutu busuk, penonton membanting-bantingkan bantalan kursi yang memang bisa dilipat. Maka hebohlah suara di dalam bioskop dengan suara bantingan kursi tersebut.
Yang terasa unik bagi saya adalah suasana ketika film terputus sehingga perlu waktu beberapa menit untuk menyambungnya. Entah kesepakatan dari mana, hampir di semua bioskop ketika film terputus, para penonton bersorak “inceek ….” dibarengi dengan bantingan kursi lipat. Terkadang sorakan ini disambung menjadi “inceeek …. kapia waang”. Incek adalah panggilan umum untuk lelaki Cina. Mungkin juga sorakan Incek ini timbul karena mayoritas pengusaha bioskop di Padang adalah warga keturunan Cina. Tapi sorakan “incek” sudah jadi jargon umum sehingga tetap saja diteriakkan walaupun menonton di bioskop misbar atau bioskop Purnama yang milik pribumi.

Pada umumnya bioskop waktu itu hanya memiliki satu proyektor sehingga perpindahan dari satu roll kepada roll berikutnya memerlukan waktu beberapa menit. Terkadang penonton perlu menunggu lebih lama karena roll film lanjutannya sedang dalam perjalanan dari bioskop lain. Maklum, di masa tersebut kalau satu judul film diputar di dua bioskop dengan jam tayang yang overlap, master filmnya hanya satu untuk setiap kota (tidak seperti sekarang yang punya beberapa copy film). Disaat menunggu itu lampu di dalam bioskop akan dihidupkan dan itulah saat break buat penonton. Para penjaja makanan/minuman ringan pun akan berkeliling menawarkan kacang, permen hingga limun. Dan begitu gong berbunyi yang diikuti dengan pemadaman lampu kembali, penonton antusias menyambutnya dengan bertepuk tangan.
Itulah sedikit gaya dan ulah penonton di bioskop di tahun 60-70 an sebelum datangnya era TVRI.

Kini setelah sekitar 30 tahun berlalu dimana Studio 21 ternyata masih tidak dikenal di Sumbar, bisnis perfilman di daerah ini tampaknya semakin senin kemis ibarat hidup segan mati tak mau.
Malah menurut beberapa teman, bioskop di Padang dan beberapa kota lain di Sumbar sekarang menjadi tempat yang aman bagi anak remaja untuk berpacaran.
Kalau sinyalemen ini benar, saya cuma bisa berucap “duh … Sumbar ku sayang, Sumbar ku malang”.

Ciputat, 29 November 2009.

No comments:

Post a Comment