Wednesday, November 2, 2011

TERIMA KASIH BANG FOKE . . .

Senin lalu Presiden SBY mengeluarkan statement yang membuat saya terpana. Ini sangat berbeda dengan biasanya karena sabda beliau selama ini sulit ditebak dan cenderung multi tafsir. Entahlah, mungkin juga beliau sudah begitu emosional sehingga berujar seperti ini:
 "Yang berkomitmen membangun transportasi di Jakarta, Gubernur DKI, luar biasa banyaknya 10 tahun ini, Semuanya pepesan kosong, tidak jalan. Barangkali di daerah juga seperti itu," ujar Presiden SBY dalam pembukaan rapat kerja penyusunan rencana induk 2025 di Istana Bogor ( detiknews, 21 Februari 2011).

Wartawan yang nakal ketika meminta komentar Fauzi Bowo, Gubernur DKI memperoleh jawaban normatif seperti ini:
"Pak Presiden tidak menyebut Pemda DKI, tapi Jakarta. saya kebetulan hadir di situ dan saya tidak merasa teguran diarahkan kepada saya semata-mata tapi kita semua. Saya menyambut baik semua itu, dorongan untuk seluruh jajaran pemerintah untuk berhati-hati, lebih selektif dalam memilih investor," kata Fauzi Bowo saat jumpa pers di Istana Bogor keesokan harinya.
Saya sebetulnya iba sama bang Foke (panggilan akrab Fauzi Bowo) yang kalau dalam pertandingan tinju rasanya sudah babak belur menerima hantaman hook dan jab dari berbagai arah.
Tapi itulah resiko yang harus diterima bang Foke sebagai Gubernur yang dimasa kampanyenya  sering menggunakan jargon “serahkan Jakarta pada ahlinya.” Belakangan kita semua tahu bahwa jargon tersebut malah berbalik menjadi bumerang terhadap beliau.

Persoalan transportasi di ibu kota negara ini sudah seperti benang kusut, malah mungkin lebih parah. Benang kusutnya sudah menjadi buhul-buhul yang sulit dilepaskan. Itu baru soal transportasi.
Persoalan lain yang juga menghantui Jakarta adalah ancaman banjir dan minimnya penghijauan kota. Kalau saya yang jadi bang Foke, mungkin sudah lama melempar handuk, alias menyerah.
Ajaibnya bang Foke (sebetunya saya ingin tahu apa resep beliau untuk bisa bertahan) masih tetap tegar dan selalu menebarkan senyum khasnya ketika meninjau lokasi-lokasi banjir.
Kalau dihitung-hitung, memang panjang urutan pekerjaan rumah bang Foke yang belum terselesaikan, dan yang paling krusial  adalah soal transportasi. Jadi sangat masuk akal kalau pak SBY sampai menyebut komitmen Gubernur DKI sebagai pepesan kosong.

Tapi apakah benar bang Foke pepesan kosong? Saya kok tidak sepakat. Bukan hendak berseberangan dengan pak Beye, sama sekali bukan. Saya hanya ingin berlaku fair dalam menilai bang Foke.

Beberapa hari ini saya baru sadar betapa kemacetan rutin yang terjadi hampir di seluruh pelosok ibu kota sesungguhnya membawa hikmah tersendiri bagi pengemudi mobil.
Saya setiap hari harus menyetir mobil dari rumah di kawasan Ciputat menuju kantor di daerah Cempaka Putih. Dihitung dari jarak, sebetulnya tidak seberapa jauh, paling juga 40-50 km. Tetapi waktu tempuhnya bisa sangat variatif, dari satu hingga tiga jam, tergantung situasi jalanan.
Selama mengendarai mobil ada beberapa kegiatan rutin yang biasa saya lakukan untuk menghilangkan kebosanan sekaligus menghindari stres. Saya biasanya mendengarkan siaran radio, memutar CD murrotal Al Qur’an atau lagu2 pop tempo doeloe. Sayangnya kenikmatan mendengarkan lagu-lagu atau ayat Qur’an seringkali terusik oleh godaan eksternal. Apa pasalnya?

Menyetir di pagi hari melalui jalan tol TB Simatupang yang dilanjutkan ke tol dalam kota ke arah Priok sungguh bukanlah perjalanan yang nyaman. Entah setan apa yang mempengaruhi hampir semua pengendara mobil, semuanya saling adu cepat di jalan tol. Yang paling runyam adalah ketika usai membayar Rp 2000 di gardu tol setelah exit tol Simatupang menuju Priok. Pengemudi mobil rata-rata tidak mau mengalah. Lebar jalan di sisi tol yang dirancang untuk 2 jalur mobil pada kenyataannya dipaksa untuk menampung 4 jalur mobil. Urusan salib menyalib tidak usahlah ditanya, itu sudah lumrah. Pengemudi yang kurang piawai dijamin bisa bohwat (putus asa) dan kaget akibat disalib dari kiri dan kanan sekaligus, sehingga terkunci ditengah.

Kadar adrenalin pasti naik, emosi bisa terpancing. Tapi disitulah seninya mengemudi kendaraan di ibu kota. Anggota tubuh seperti tangan dan kaki harus standby, setiap saat harus mampu bertindak reflex. Pengemudi mobil non-matic harus siap untuk exercise khususnya kaki kiri untuk menginjak kopling. Panca indera pun harus prima, Mata harus selalu awas karena mobil di depan anda bisa mengerem mendadak. Telinga juga harus bisa mendengarkan klakson atau sirene kendaraan petinggi yang sewaktu-waktu memaksa lewat dari belakang. Kondisi jantung juga diuji ketahanannya dengan menjaga emosi dan kadar adrenalin.
Last but not least, test kantung kemih juga dilalui. Anda harus mampu menahan kencing selama 2-3 jam karena tidak ada peluang untuk menepikan mobil untuk mencari toliet umum. Kalau terpaksa harus kencing, bolehlah melepas hajat kedalam botol kosong AQUA secara diam-diam, syukur-syukur mobil anda dilapisi kaca film 60% keatas.
Tapi hendaknya melepas air seni kedalam botol AQUA harus hati-hati, jangan seperti kejadian yang dialami seorang rekan saya. Ketika asyik melepas hajat, mobilnya menyerempet kendaraan lain. Dia kaget dan air seni di botol AQUA tertumpah menyiram celana panjangnya. Ketika terpaksa harus turun kendaraan dan berhadapan dengan cewek di  mobil yang ditabraknya dia amat kesulitan untuk menutupi noda basah di celananya.
Kembali ke laptop. Maka ketika sampai di tujuan sekitar 2-3 jam kemudian, kondisi tubuh tak obahnya seperti orang yang telah menjalani medical check-up yang meliputi  treadmill, jantung, ginjal dan test pancaindera lainnya. Semuanya kita lakukan tanpa harus membayar, alias medical check gratis. Artinya para pengemudi kendaraan bermotor di Jakarta sesungguhnya sudah tidak perlu menjalankan medical checkup yang bayarannya berkisar dari 500 ribu hingga 1 jutaan.
Mestinya kita harus berterima kasih kepada pemilik fasilitas medical checkup tadi, yaitu bang Foke.
Maka pada kesempatan ini saya merasa perlu untuk mengucapkan,
Terima kasih bang Foke, atas medical checkup gratis ini.”

Ciputat, 24 Februari 2011

No comments:

Post a Comment