Sunday, December 4, 2011

Menggoyang Lidah di RM Indah Jaya Minang, Alam Sutera



Ketika salah seorang famili saya menyebutkan ada restoran Padang di Alam Sutera (Tangerang) yang ayam gorengnya mirip dengan ayam goreng “Pagi Sore” yang khas di kawasan Pondok, Padang, nama itu diam-diam saya catat. Satu saat saya akan cari tempat itu untuk membuktikan kebenaran klaim tersebut.

Karena kesibukan ibukota, saya dan isteri baru berkesempatan untuk mengunjungi target kami, yaitu Restoran Indah Jaya Minang beberapa hari lalu. Lokasi persisnya di Komplek Ruko Imperial Walk, Jalur Tol Alam Sutera 29C No. 46-48, Alam Sutera - Tangerang. Lokasinya lumayan jauh, kecuali bagi warga BSD, karena berada di jalur Tol arah ke Tangerang dan bandara Soeta.

Ketika menginjakkan kaki ke rumah makan ini saya langsung terkesan dengan kebersihan dan keramahan pelayannya. Ini jelas desain sebuah rumah makan Padang modern.
Belum selesai saya mengamati seisi ruangannya, seorang pelayan mendatangi meja kami dengan kereta roda yang berisi belasan piring lauk dan nasi. Dugaan saya ternyata benar. Pola penyajian makanan Padang dengan menggunakan kereta roda ini memang salah satu ciri rumah makan Padang modern, yang awalnya diperkenalkan oleh restoran Salero Bagindo dan Roda tahun 80 an di Jakarta.

Sang pelayan dengan gesit menata belasan piring lauk di meja kami, sementara saya mengamati satu persatu piring lauk yang disajikan.
Hemm, lumayan juga aneka menunya, lebih variatif dari standar menu yang disajikan oleh rumah makan Padang umumnya, termasuk RM Sederhana yang terkenal itu. Lauknya yang agak jarang terlihat di rumah makan Padang antara lain adalah semur ayam, tahu gulai putih, gulai daun singkong dengan bumbu rendang dan gulai sumsum. Sementara lauk tradisional lainnya terlihat cukup menimbulkan selera, seperti dendeng batokok sambal hijau, gulai tunjang yang masih panas, ikan bilis dan ikan goreng balado. Belakangan menyusul ayam goreng yang masih panas dan sambal lado petai.

Karena niat awal saya kesini untuk mencicipi ayam gorengnya, tentu itulah yang saya comot terlebih dahulu. Begitu juga dengan isteri saya. Nah, bagaimana taste nya?
Sebelum saya sempat berkomentar, isteri saya sudah mendahului, “oke sih, tapi bumbunya masih belum menyamai ayam goreng Pondok Jaya”. Aha, tadinya saya mau ngomong begitu. Walaupun rasa goreng ayam ini diatas standar, lidah saya yang terbiasa dimanja ini lebih menyukai ayam goreng Garuda (arteri Pondok Indah) dan Pondok Jaya (dulu di Hayam Wuruk, kini sudah pindah ke belakang Duta Merlin). Tapi sambal lado petainya cukup menggiurkan walau sekali lagi, masih kalah dengan sambal lado petainya Pondok Jaya yang dicampur dengan potongan leher ayam.

Karena tujuan datang kesini sebagai food tester, kami harus mencoba menu lainnya kan? Saya sempat bimbang, apakah mau pilih semur ayam, ayam asam padeh atau dendeng batokok. Karena isteri saya memutuskan untuk mencoba ayam asam padeh, saya pun mencomot dendeng batokok sambal hijau. Hasilnya?

Hemm.... pilihan saya tidak salah. Acungan jempol buat lauk ini. Dan untuk memperoleh opini satu sama lainnya, kami pun saling berbagi lauk. Melihat isteri saya sepakat dengan kesan yang saya berikan, rasanya lega. Ayam asam padehnya pas sekali bumbunya.
Bagi saya, mencicipi dendeng batokok sambal hijau ini seolah bernostalgia ke tahun 90-an sewaktu saya masih bolak-balik bertugas ke Pekanbaru. Ketika itu ada satu rumah makan Padang yang jadi favorit, namanya Kota Buana. Saking favoritnya, belakangan Kota Buana diminta membuka cabang di kompleks Caltex, Rumbai. Salah satu menu favorit di Kota Buana adalah dendeng batokok sambal hijau itu. Saking populernya, cukup sering karyawan Caltex yang bekerja di Jakarta memesan dendeng batokok kepada rekan kerjanya di Rumbai kalau berkunjung ke Jakarta. Entah kini rumah makan tersebut masih ada atau sudah menjadi bagian dari sejarah.

gulai sumsum

Maksud hati hendak mencicipi lauk lainnya, apa daya kapasitas perut ada batasnya. Disamping itu juga ada kendala psikologis lainnya. Saya sejujurnya ingin mencoba bagaimana citarasa gulai tunjang dan gulai sumsum yang menantang itu. Tapi kekawatiran medis berhasil menghambat salero buruak itu, maklum bulan lalu hasil lab Prodia saya menunjukkan angka LDL 172, jauh diatas batas maksimum ukuran normal.


Akhirnya saya menyelesaikan tugas uji selera ini dengan tidak sempurna, alias tidak sempat mencicipi semua lauk yang diinginkan. Namun setidaknya sudah punya kesimpulan bahwa rumah makan ini layak untuk direkomendasikan, terutama bagi pecinta masakan Padang yang tidak maniak dengan sambal yang pedas. Artinya, bagi anda yang terbiasa dengan masakan Padang yang pedas-pedas, restoran ini bukan tempat yang cocok bagi anda.
Bagi yang merasa penasaran, kenapa tidak mencobanya?

Ciputat, 4 Desember 2011.

No comments:

Post a Comment