Saturday, January 14, 2012

MEMAHAMI GENERASI Z DI ERA SERBA DIGITAL

Anda sering melihat anak remaja di jalanan, di sekolah, di tempat umum atau bahkan di rumah dengan earphone atau headphone yang menempel di telinganya? Itulah salah satu ciri Generasi Z, yang sulit dipisahkan dari handphone dan portable MP3 Player dalam kehidupannya, yang seolah-olah tidak bisa melepaskan diri dari musik. Mereka terkesan cuek atau bisa dibilang budek, karena ketika dipanggil orang tuanya seringkali tidak memberi respon saking asyiknya menikmati suara musik di telinganya.

Entah siapa yang memprakarsai istilah generasi Z ini, tetapi menurut literatur penggolongan generasi telah dimulai sejak tahun 1965, tatkala barang-barang konsumsi seperti perangkat teknologi mulai diproduksi secara masal di Amerika.

Setiap generasi periodenya sekitar satu dekade atau atau lebih, memiliki keunikan karakteristik masing-masing. Generasi yang awal dinamai Baby Boomers. Mereka itu merupakan kelompok masyarakat yang hidup setelah Perang Dunia II (dari 1946 hingga 1964). Konon diberi nama Baby Boomers karena semasa hidupnya generasi ini terjadi peningkatan jumlah kelahiran di seluruh dunia. Pada generasi ini mulai dikenal TV hitam putih.
Berikutnya adalah Generasi X (mereka yang lahir dari tahun 1965 hingga 1980). Mereka yang lahir pada generasi ini bertumbuh kembang dengan video games dan MTV, serta menghabiskan  masa remajanya di tahun 80-an.
Sesudahnya muncul Generasi Y, (dari 1981 hingga 1995)  yang lebih dikenal dengan generasi Milenium. Mereka berkembang seiring dengan banyaknya kemajuan dunia, diantaranya perkembangan komunikasi massa dan awalnya Internet.
Generasi terkini adalah Generasi Z, anak-anak yang lahir sesudah tahun 1994. Ada pendapat lain yang menyebut bahwa Generasi Z dimulai dari tahun 1990.
Yang jelas, Generasi Z atau terkadang disebut juga Generasi Net adalah mereka yang hidup pada masa digital, atau lebih spesifik “native digital”.

Berbagai artikel yang mengulas subyek ini rata-rata menuliskan bahwa  karakteristik yang menyolok dari Generasi Z antara lain adalah mereka yang
  1. Punya akses yang cepat terhadap informasi dari berbagai sumber
  2. Mampu ber-multitasking (mengerjakan beberapa aktivitas secara bersamaan)
  3. Lebih menyenangi hal-hal yang berbau multimedia
  4. Lebih suka berinteraksi di jejaring sosial seperti facebook, twitter, Yahoo Messenger dan  BBM
  5. Dalam belajar, lebih menyukai hal-hal yang bersifat aplikatif dan menyenangkan
Sesungguhnya tidak perlu heran terhadap kekhasan karakteristik Generasi Z diatas, karena mereka lahir pada era dimana Internet mulai berkembang dan tumbuh sejalan dengan perkembangan media digital elektronik. Jadi wajar kalau mereka akrab dengan piranti digital seperti handphone, laptop dan gadget elektronik mutakhir lainnya.

Di satu sisi kita boleh kagum akan kecepatan Generasi Z beradaptasi dengan dunia digital. Mereka tidak perlu lagi ikut kursus komputer sebagaimana halnya generasi orang tuanya. Para orang tua zaman sekarang bisa tercengang melihat kepiawaian anak-anaknya berchatting ria di dunia maya, mengetik cepat diatas toets smartphone atau mencolek layar tablet PC. Tidak jarang kita lihat orang tua yang justru berguru kepada sang anak bagaimana cara berkomunikasi di dunia maya.

Tetapi generasi ini harus patuh kepada analogi hukum kekekalan energi, bahwa dimana ada keunggulan pasti ada kelemahan. Karena terbiasa dengan dunia digital yang umumnya serba instan, anak-anak yang terlahir di era generasi Z biasanya tidak terlalu suka dengan proses, mereka tidak sabaran dan ingin segalanya serba instan. Makanan instan pun jadi kegemaran mereka. Makanya anak-anak generasi Z umumnya tidak paham dengan proses.

Kondisi ini bukan salah mereka, tapi memang situasi zaman yang telah berubah. Kalau di era pra-digital kita terbiasa dengan kamera foto analog dengan film 35mm yang harus melalui proses cuci cetak, anak-anak generasi Z justru akrab dengan digital camera yang bisa menghasilkan gambar foto secara instan yang bisa langsung dicetak ke kertas dalam hitungan menit saja. Mereka tidak paham dengan cara pembuatan foto yang harus melalui proses pencucian film foto di kamar gelap. Kini banyak kita temui anak-anak yang belajar animasi dan desain tanpa memiliki skill menggambar, sesuatu yang sukar dilakukan pada era pra komputer digital. Padahal idealnya mereka harus melalui proses belajar menggambar dahulu sebelum beranjak ke tingkatan yang lebih tinggi, sebagai designer. Keinginan serba instan ini pula yang menjerumuskan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) muda yang tergiur mengambil jalan pintas untuk menjadi kaya secara instan. Tidak percaya? Coba saja simak pemberitaan beberapa media cetak dan elektronik belakangan ini yang mengangkat topik “rekening gendut PNS muda”.

Era digital juga membuat Generasi Z kurang trampil dalam berkomunikasi verbal. Mereka terbiasa berkomunikasi dengan gadget elektronik, apakah melakukan chatting via messenger atau SMS. Saya pernah memergoki dua kakak beradik tengah berkomunikasi via chatting, padahal mereka berada di satu ruangan, malah duduk berdekatan. Ini sih kebangetan pikir saya, karena mereka kan bisa saja berkomunikasi secara langsung. Jadi jangan heran kalau ada yang menamakan generasi ini dengan istilah silent generation.

Kegemaran akan dunia maya inilah yang menjadi sasaran kritik para humanis seperti Mark Slouka. Anak-anak generasi Z menjadi sulit untuk membedakan antara realitas nyata dengan realitas maya. Seperti yang pernah saya singgung dalam artikel “teknologi maju dan alam yang terkembang”, mereka tidak akrab dengan alam. Mereka melihat dunia dari balik kaca belaka.

Konon dampaknya Generasi Z akan benar-benar dirasakan sekitar tahun 2020, ketika mereka berusia sekitar 25 tahunan, saat memasuki dunia kerja. Mereka diyakini akan sangat tergantung kepada perangkat digital untuk hampir seluruh aktivitasnya. Bagi Generasi Z, kecepatan (speed) adalah kunci keberhasilannya, sejalan dengan kegemaran mereka terhadap yang serba instan. Siapa yang paling cepat memperoleh informasi, memasuki pasar, akan memenangi pertarungan. Ironinya, kecepatan itulah yang dapat membuat mereka terisolasi dari alam nyata, seolah pohon yang tercerabut akarnya, terlepas dari tanah.

Maka para orang tua masa kini memliki tantangan baru, yaitu bagaimana untuk menyikapi anak-anak generasi Z dengan bijak. Orang tua selain harus menjaga komunikasi dua arah dengan sang anak, kini juga harus bisa menjelaskan kepada si anak bahwa proses itu merupakan aspek penting, jangan dilupakan. Bahkan konsep dasar bekerjanya sebuah komputer modern  sekalipun adalah INPUT – PROSES – OUTPUT.

Ciputat, 14 Januari 2012.

1 comment:

  1. Artikelnya agak keliru, di bagian 'rekening gendut pns muda'. Kalau penulis menyimak teori generasi, mestinya menyadari bahwa memberikan contoh demikian akan blunder. Karena anak-anak gen z rasanya, blm banyak yg bekerja, apalagi jadi pns.

    ReplyDelete