Tuesday, November 1, 2011

Mengenang 89 Tahun Rosihan Anwar




Hari ini, 10 Mei 2011 merupakan hari ulang tahun ke-89 almarhum Rosihan Anwar, seorang wartawan senior yang baru meninggal pada 14 April yang lalu.
Semasa hidupnya, Pak Ros (sapaan akrab almarhum) dikenal sebagai wartawan lima zaman, mulai dari masa penjajahan Belanda, kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi saat ini.

Saya menyenangi gaya tulisan beliau yang khas, seperti halnya  kolumnis koleganya yang juga sudah almarhum seperti Muchtar Lubis dan Mahbub Djunaidi. Kalau Muchtar Lubis biasanya menyajikan tulisan yang agak “berat” dan Mahbub Djunaidi memiliki gaya tulisan yang jenaka dalam melontarkan kritik pedas dan tajam, gaya tulisan Rosihan kira-kira berada ditengahnya, antara Muchtar Lubis dan Mahbub.

Gaya setiap penulis memang berbeda. Namun tetap ada kesamaan di antara mereka, yaitu pengetahuan yang luas, kaya dengan pengalaman dan jeli menangkap persoalan yang ada di sekitarnya.
Begitu pun dengan Rosihan Anwar. Ia adalah seorang penulis yang memiliki ciri-ciri seperti di atas. Rosihan Anwar adalah penulis yang mampu menulis dengan jernih dan kaya dengan berbagai pengetahuan, mulai dari pengetahuan sejarah, sastra, kebudayaan, filsafat, hingga politik.

Rosihan Anwar memulai karir sejak 1943 di Asia Raya, kemudian redaktur harian Merdeka (1945), dan Pemimpin Redaksi harian Pedoman. Ia juga merupakan salah seorang wartawan Indonesia yang meliput Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949, saat Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia.
Hal-hal itulah yang membuat tulisan-tulisan Rosihan Anwar menjadi lebih kaya, penuh warna, dan tampak penguasaannya terhadap kompleksitas persoalan dan kemajemukan setiap permasalahan. Barangkali itulah penyebabnya sehingga para pembaca bisa betah menekuni tulisannya. Padahal bisa saja persoalan yang diangkatnya merupakan masalah yang cukup serius.

Dalam bukunya Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia  jilid 1 yang diterbitkan di tahun 2004 hingga jilid 4 yang terbit di bulan November 2010, kita dapat menikmati kolom-kolom beliau yang mengulas sejumlah persoalan yang dicermatinya dengan gaya bahasa yang ringan dan enak untuk dibaca. Cara pandang Rosihan Anwar amat beragam, dari acungan jempol, geleng-geleng kepala, kritik pedas, sikap sinis hingga mengejek. Kesemuanya disampaikan secara blak-blakan sehingga para pembacanya pun bisa ikut geleng-geleng kepala atau manggut-manggut sambil tersenyum simpul.

Untuk mengenang kepergian almarhum, berikut ini saya kutipkan tulisan  singkat peneliti sejarah LIPI, Asvi Warman Adam tentang Rosihan Anwar dalam bukunya “Membedah Tokoh Sejarah”.

Dari sudut sejarah, nama Rosihan tidak terlepas dari "brand mark" In Memoriam yang ditulisnya di berbagai surat kabar sejak 31 tahun yang lalu. Begitu ada tokoh yang meninggal, maka keesokan harinya sudah ada tulisan kilat berkat kolumnis kelahiran Kubang Dua, Solok, Sumatera Barat. Pada saat terjadi kematian, Rosihan telah menghadirkan kehidupan. Ketika menghirup secangkir kopi seraya membalik koran, masyarakat sekaligus mencicipi sepotong sejarah.

Dalam buku In Memoriam, Mengenang Yang Wafat yang diterbitkan 2OO2, terdapat 77 tulisan. Saya kira jumlah artikel Rosihan mengenai obituari pada hari ini sudah lebih dari seratus buah. Di dalam buku In Memoriam, urutan artikel tersebut diawali dengan tiga tokoh bangsa yakni Sukarno, Hatta dan Sjahrir.
Kemudian diikuti oleh istri ketiga orang tersebut. Namun Rosihan tidak menulis tentang figur keempat yaitu Amir Sjarifuddin - mantan perdana menteri yang dieksekusi mati tanpa proses pengadilan. Salah satu gagasan Amir yang sempat diperdebatkan adalah tentang tentara masyarakat.

Menurut hemat saya, Rosihan Anwar adalah sejarawan masyarakat. Koran yang dipimpinnya, Pedoman, dua kali di bredel pada era Orde Lama dan Orde Baru. Walau lama sekali menjadi WTS (wartawan tanpa surat kabar), Rosihan tetap menulis di mana-mana di seluruh Indonesia. Ia menjadi guru bagi para wartawan dalam pelatihan yang dilakukan secara berkala oleh PWI.

Rosihan banyak mendapat buku kiriman atau yang dibelinya sendiri ketika berkunjung ke luar negeri. Buku-buku tentang berbagai aspek sejarah itu terutama yang berbahasa Belanda diulasnya terutama pada surat kabar daerah. Ia menampilkan informasi dan perspektif baru mengenai suatu persoalan historis.
Kehadirannya sebagai jurnalis sejak masa revolusi, menyebabkan ia bisa bercerita dan menulis tentang apa dan siapa saja yang terlibat dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta periode sesudahnya. Dalam tulisannya sering ditemukan "inside story" dari berbagai peristiwa. Misalnya tentang upaya Presiden Sukarno mengangkat Brigjen ]usuf sebagai Waperdam (Wakil Perdana Menteri) ke-4 yang ditentang oleh Jenderal Yani sehingga melahirkan apa yang disebutnya sebagai “mosi tidak percaya" tentara terhadap Bung Karno Agustus 1965. Pada gilirannya, ini menyebabkan "Presiden susah tidur"'.

Reportase terbaiknya menurut saya adalah laporan pandangan mata tentang peristiwa 27 Juli 1996 yang dimuat pada sebuah suratkabar namun ditulis ulang dengan jauh lebih lengkap pada buku sejarah kecil (Petite Histoire) Indonesia (2004). Tulisan itu perlu dibaca oleh anggota Komnas HAM, karena mungkin bisa dijadikan sebagai "novum" atau temuan baru. Dalang pelanggaran HAM Berat dalam kasus "Kudatuli" itu disebutnya dengan gamblang yakni "Jenderal S". Ia mendengar sendiri pembicaraan yang berlangsung lewat walky talky di sebuah posko aparat keamanan di jalan Diponegoro.

Pada 2001 Rosihan Anwar diangkat sebagai anggota kehormatan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) karena dipandang sebagai tokoh non-sejarawan yang telah berjasa dalam penulisan sejarah Indonesia terutama dalam memasyarakatkannya. Sejarah sesungguhnya tidak sekedar bahan pelajaran di sekolah (yang membosankan dan seenaknya dilarang).

Tulisan-tulisan Rosihan tentang tokoh bukan basa-basi, bahkan ia tidak segan mengeritik yang sering disampaikan secara bercemooh. Bagi saya, cemooh itu - yang membuat kultur Minang dinamis - menjadi kekuatan tulisan Rosihan. Sesuatu yang memerahkan kuping tetapi membuat kolom itu enak dibaca.
Menjadikan berbagai karangan Rosihan seperti rendang. Makin lama dimasak, diolah kembali, dihidangkan ulang, makin sedap.
Ondeh lamak bana.
Ulasan tentang sang penulis In Memoriam, Mengenang Yang Wafat  sebaiknya saya akhiri hingga disini dan kini giliran saya yang akan mengucapkan "Selamat jalan pak Rosihan. Semoga Tuhan menerima arwah beliau disisi-Nya. Amin Rabbal'alamin". 

Ciputat, 10 Mei 2011

No comments:

Post a Comment