Tuesday, November 1, 2011

Memberantas budaya nyontek ala sebuah PTS di Padang: Apakah Efektif dan bisa Long Lasting?

Saya baru saja habis melakukan studi banding, mendampingi wakil rektor sebuah universitas swasta di Jakarta ke salah satu universitas swasta di Padang. Mungkin ini agak langka karena studi banding biasanya dilakukan oleh orang daerah ke kota besar, atau dari domestik ke luar negeri untuk mengamati dan mempelajari sesuatu hal.
Singkat cerita, apa yang saya temui di kampus sana memang langka, dalam artian tidak lazim kita temui di kampus manapun di negeri ini.
Apa yang saya peroleh dan saya lihat di kampus tersebut saya share di milis alumni kampus saya di Jakarta yang intinya seperti dibawah ini.

Ada beberapa hal yang membuat saya terperangah dan terkagum-kagum atas konsistensi penerapan disiplin di kampus tersebut.
  1. Universitas ini hanya memiliki 20 staf administratif yang bertugas melayani 12.000 mahasiswa aktif (dari 8 fakultas dan beberapa program pasca sarjana). Komitmen yang diberikan pengelola kampus, semua urusan administrasi (seperti permintaan copy ijazah, transkrip nilai) akan diselesaikan dalam satu hari. Para orang tua dapat memantau kehadiran anaknya di setiap mata kuliah dengan mengirimkan sms ke nomor tertentu.
  2. Hukuman bagi mahasiswa yang tertangkap menyontek ketika ujian.
    Mahasiswa yang tertangkap menyontek akan diberikan hukuman berat. Pelakunya akan diumumkan namanya di papan pengumuman dan dicap sebagai pakar jimat (ini istilahnya bagi mereka yang membawa contekan), dan dibatalkan seluruh mata kuliah yang diikutinya di semester tersebut. Ini sama saja artinya dengan pemberian skors selama 1 semester, bukan?
  3. Bagi dosen yang terlambat datang ke kampus (jam masuk bagi dosen adalah pukul 07.15 pagi) akan diberikan sanksi disiplin sbb:
    • push-up sebanyak 10 kali bagi dosen pria
    • pembacaan ikrar di masjid kampus (dihadapan pimpinan universitas dan fakultas) bahwa ybs tidak akan datang terlambat lagi, baik bagi dosen pria maupun dosen wanita.
Dua orang Wakil Rektor yang saya dampingi banyak sekali mengajukan pertanyaan seputar penerapan disiplin ala militer ini, apakah tidak ada reaksi dosen, mahasiswa maupun orang tua mahasiswa terhadap pimpinan universitas. Dialog yang terjadi cukup panjang, ada sekitar 5 jam kami berada di kampus tersebut sebelum kembali ke Jakarta.

Secara singkat kami memperoleh penjelasan bahwa pimpinan universitas sudah pernah dipanggil oleh DPRD Sumbar yang mempertanyakan penerapan hukuman nyontek yang dianggap terlalu berat itu. Pihak universitas memberikan jawaban bahwa kesepakatan itu sudah dibuat sejak awal sebelum mahasiswa diterima dan orang tua wajib memahami dan menandatangani perjanjian untuk mematuhi peraturan kampus tersebut.

Menurut pimpinan universitas dan yayasan, menanamkan kejujuran sekaligus membudayakan rasa malu bagi mahasiswa harus ditanamkan sejak dini agar masa depan bangsa Indonesia bisa lebih baik. Kejujuran dan punya rasa malu ini teramat mahal harganya di jaman sekarang. Memang akhirnya DPRD pun tidak bisa menekan atau memberikan sanksi kepada pihak kampus.

Ucapan yang selalu diulang-ulang ibarat mantra sakti ketika kami berkunjung adalah: "dipaksa, terpaksa, terbiasa".
Bukankah ini yang dilakukan oleh setiap orang tua muslim kepada anak2nya untuk membiasakan shalat 5 waktu?

Kami kembali ke Jakarta dengan membawa sebuah kenyataan bahwa di negeri ini ternyata ada sebuah institusi pendidikan dengan 12.000 mahasiswa aktif yang mampu menerapkan disiplinnya secara konsisten.

Posting saya di milis kontan mendapat berbagai komentar dari teman-teman alumni. Dan seperti sudah saya duga, isi tanggapan yang masuk juga amat beragam. Ada yang memberikan komentar normatif dengan menyatakan kekaguman dan salutnya terhadap inistiatif kampus ini, dan ada yang berangan-angan andaikan gebrakan seperti ini bisa diterapkan di semua kampus. Yang skeptis juga ada, dengan argumentasi bahwa kehidupan nyata sangat kontras dengan nilai-nilai kejujuran yang diterapkan oleh kampus tersebut. Kawatirnya para anak didik akan shock dan terjadi konflik batin tatkala mereka terjun ke dunia pekerjaan. Ada pula yang menyoroti bahwa budaya mempermalukan mahasiswa itu tidak mendidik (mungkin maksudnya melanggar hak azasi mahasiswa sebagai manusia). Tetapi ada pula yang menyoroti dari sisi lain, bahwa para dosen dan pengelola kampus itu dulunya juga nyontek. Kenapa juga mereka menerapkan aturan keras seperti diatas?

Satu komentar yang cukup melegakan datang dari rekan saya Monty seperti berikut ini:
"Apa yg disaksikan Aswil di PTS Padang, seharusnya di dukung oleh semua pihak dan menularkannya di tempat lain.
Banyak makna dan pesan moral yg bisa terjadi secara berantai, bila berhasil.
Namun bila PTS ini hanya sendirian tanpa ada dukungan dari berbagai pihak, kita akan merasa kasihan pada mahasiswa sebagai produk yang dihasilkannya. Karena apa yang mereka dapatkan di kampus, bertolak belakang dengan realitas di lapangan.
Seandainya, lingkungan kota Padang saja bisa tertular moralitas PTS itu, saya haqqul yaqin bisa menjadi lilin menerangi kegelapan dan secara bertahap pasti bisa menerangi nusa dan bangsa ini."
Sejujurnya saya juga mixed feeling dengan apa yang diterapkan di kampus diatas. Soal menegakkan disiplin secara konsisten dan tanpa kompromi saya sangat mendukung. Namun memajang identitas si pelaku di papan pengumuman secara terbuka, itu yang membuat saya agak galau. Apakah cara ini akan efektif untuk menumbuhkan budaya malu seperti yang ingin dicapai oleh pengelola universitas? Tetapi menurut informasi yang saya dengar, peraturan ini sudah diterapkan selama beberapa tahun dan berjalan mulus.

Apa yang saya lihat di kampus PTS diatas membuat saya berpikir, barangkali sudah saatnya para guru,  praktisi pendidikan dan pengelola sekolah mulai berpikir bagaimana cara yang paling efektif untuk memerangi perilaku tidak jujur dan menanamkan rasa malu di dalam diri anak didik sejak usia dini.
Di sisi lain, saya melihat kenyataan, betapa banyaknya rekan-rekan saya yang melihat sesuatu hal dari sudut "circle of concern" ketimbang "circle of influence" dan lebih memilih menjadi victim of change dibandingkan menjadi agent of change.

Ciputat, 24 April 2011.

No comments:

Post a Comment