Tuesday, November 1, 2011

IDIOT'S GUIDE TO RUMAH SI PITUNG

Perjalanan napak tilas kali ini memang berasal dari ide bantal, yaitu ide spontan yang muncul ketika tidur-tiduran diatas bantal. Kami berempat, saya bersama Wibi, Dirjo dan Tri karena alasan tekniis terpaksa membatalkan touring ke Ujung Kulon yang sesungguhnya sudah direncanakan lama sebelumnya.
Maka sebagai penggantinya, daripada bengong di rumah, muncullah ide untuk berkunjung ke Rumah si Pitung di kawasan Marunda pada hari Minggu pagi, 3 April 2011. Kebetulan Tri yang punya hobi mancing, mengaku familiar dengan kawasan tersebut.
Tanpa banyak persiapan, kami pun berkumpul di Citos sekitar jam 8 pagi untuk bersama-sama menuju target area. Disepakati pula bahwa dari Marunda kita akan napak tilas ke beberapa obyek di kota tua. Dalam hal ini saya, Dirjo dan Tri mengandalkan sepenuhnya kepada pengetahuan Wibi yang telah mempersiapkan dua buku andalannya, "The Social World of Batavia" oleh Jean Gelman Taylor dan "Nathaniel's Nutmeg" karya Giles Milton. Saya sejujurnya tidak paham tentang apa sesungguhnya yang dibahas oleh dua buku tersebut. Baru belakangan setelah searching di Google saya sadar bahwa buku kedua, Nathaniel's Nutmeg ternyata berkisah tentang perjalanan para penjelajah Eropa di abad ke-15 mencari pulau rempah-rempah yang sekarang dikenal sebagai kepulauan Banda di Maluku. Jadi tidak terkait langsung dengan Batavia.

Begitu berangkat dari Citos pukul 8 pagi, target utama adalah mencari tempat makan, karena sarapan pagi termasuk bagian dari rencana awal. Thanks God, begitu keluar dari pintu belakang Citos menuju jalan Cilandak Tengah, ada spanduk yang agak provokatif bertuliskan KETAN SUSU dengan arah panah ke kiri. Tanpa perlu voting, semuanya sepakat untuk memilih sarapan di kedai KETAN SUSU. Not bad lah, walau tidak terlalu istimewa.

Prinsip pepatah lama memang tepat sekali, "gendang gendut tali kecapi - kenyang perut senanglah hati". Dengan disopiri Dirjo kendaraan bermuatan turis lokal ini melaju di jalan Tol TB Simatupang kearah Cilincing dan Marunda. Begitu akan memasuki kawasan Marunda, mulai terjadi diskusi alot antara Dirjo sebagai sopir dan Tri sebagai pemandu tentang arah yang akan dilalui. Tapi tokh kami berhasil mencapai dermaga (kok dermaga sih?) di areal KBN Marunda.

 

setelah menyeberangi muara untuk menuju lokasi rumah si Pitung. 

Sebetulnya saya mulai bertanya-tanya dalam hati, kok jalur menuju Rumah si Pitung tidak sama dengan informasi di beberapa website? Disana disebutkan bahwa kita akan berjalan kaki melalui jembatan kayu reyot (karena belum diperbaiki oleh Pemda DKI), sementara kami berhenti di tepi dermaga KBN Marunda yang sepi. Tri bilang bahwa kita harus menyeberang dengan sampan. Naik sampan memang bukan favorit saya, tetapi kekawatiran tentunya tidak harus diperlihatkan. Apalagi menurut Tri lokasi Rumah si Pitung sudah berada di seberang kanal atau muara tersebut.
Kebetulan ada sampan sederhana yang memang sedang menunggu penumpang, sehingga kami pun menyeberangi muara dengan bayaran Rp 3000 per orang. Cuma butuh waktu kurang dari 5 menit untuk sampai di seberang. Kita pun meminta bapak si pemilik sampan untuk menunggu sekitar 1 jam, untuk menyeberangkan kami kembali.

 
di pintu masuk Rumah si Pitung.

Tri ternyata tidak membual. Kami pun berhasil mencapai rumah si Pitung setelah menyusuri gang sempit diantara gubuk-gubuk sederhana dan kumuh.
Inilah rupanya rumah si Pitung yang sesungguhnya merupakan rumah yang pernah menjadi korban perampokan si Pitung. Diperkirakan rumah tersebut didirikan kira-kira pada abad ke- 19. Perkiraan ini didasarkan pada kejadian perampokan rumah tersebut pada tahun 1883. Dengan demikian, rumah yang artistik dengan lantai 1,5 meter dari permukaan tanah itu telah berusia 100 tahun lebih.

Menurut kisah yang diutarakan oleh Alwi Shahab, ia merupakan anak bungsu dari pasangan suami istri Piun dan Pinah. Dalam belajar ilmu silat dari gurunya di Rawabelong, yang bernama Naipin, dia juga memperoleh ilmu kekebalan.

Pitung merasakan kehidupan orang Betawi dan Belanda (Eropa) terlalu kontras. Para penjajah yang disebut tuan besar, termasuk tuan-tuan tanah yang hidup mewah, sementara warga Betawi hidup menderita. Itulah yang membuat ia suka melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya dan tuantuan tanah, yang membelenggu petani dengan berbagai blasting (pajak). Hasil rampokannya itu dibagikan kepada masyarakat miskin.

Menurut buku Sejarah Kampung Marunda yang diterbitkan Dinas Pariwisata dan Permuseuman DKI Jakarta, beberapa kali Si Pitung ditangkap dan dipenjarakan, tetapi selalu dapat meloloskan diri. Karena itu, ia dijadikan legenda, bisa menghilang dan tidak mempan oleh peluru. Karena aksi-aksinya yang membuat panik penjajah dan keamanan di Batavia terganggu, Belanda pun menugaskan Scehout (kini kira-kira Kapolsek) memimpin operasi penumpasan. Karena dikhianati salah satu kawannya, dia ditembak oleh Scehout Heyne dan pasukannya, dengan peluru emas yang khusus disediakan untuk melawan kesaktiannya.

Sampai kini, tidak diketahui letak makam Robin Hood dari Betawi ini. Ada yang menyebutkan, penembakan terjadi di Jembatan Haji Ung, Kemayoran. Mayatnya dikuburkan dengan kepala dan badan terpisah. Kepalanya dikubur di dekat pabrik arak dan badannya dikubur di daerah Bogor. Sampai akhir hayatnya, Pitung tidak sempat berkeluarga. Versi lain menyatakan, mayatnya dikubur di daerah Pejagalan, Jakarta Barat, dan dijaga militer selama enam bulan.

Berkunjung ke Rumah si Pitung dianggap kurang afdol jika tidak singgah ke Masjid Al-Alam (GPS -6° 5′ 38.83″, +106° 57′ 35.86″) yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari sana. Masjid Al-Alam Marunda, yang dulu dikenal dengan nama Masjid Aulia Marunda, menurut legenda dibangun hanya dalam semalam dan merupakan salah satu masjid tertua di wilayah Jakarta yang konon dibangun pertama kali oleh Fatahillah dan pasukannya pada 1527 setelah mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa. Saat menyerbu VOC di Batavia pada 1628-1629, pasukan Mataram juga menjadikan Masjid Al-Alam Marunda dan daerah sekitarnya sebagai pangkalannya. Banyak kisah heroik yang disimpan oleh masjid ini. Menurut Alwi Shihab, tentara Demak, Si Pitung, Si Ronda, Si Jampang, Si Mirah dan lainnya pernah bersembunyi di sini dari kejaran Belanda. Mereka bisa selamat karena menurut cerita, bila bersembunyi di Masjid ini mereka tidak akan kelihatan."


Disamping masjid ada sebuah sumur tua yang usianya ratusan tahun dan sampai saat ini air masih tetap mengalir dan tidak pernah kering. Khusus mengenai sumur ini Dirjo merasa heran karena rasa airnya sama sekali tidak asin, bahkan terkesan agak manis.


Bagian dalam Masjid Al-Alam Marunda ini terkesan sederhana, dengan empat pilar besar pendek penyangga atap masjid, serta pilar yang lebih kecil pada bagian mihrab. Konstruksi tiang sokoguru ini dibangun pada abad ke-18 dengan beberapa tulisan kaligrafi menempel pada dindingnya.
Bagian mihrab dengan kaligrafi arab berbentuk setengah lingkaran, mengikuti bentuk lengkung mihrab. Tersembunyi di balik tembok ruang imam, adalah sebuah tongkat Khotib yang hanya dipakai ketika sembahyang Jumat atau pada Hari Raya.

Perjalanan singkat ke Rumah Pitung dan Masjid Al-Alam di Marunda ternyata tidak memakan waktu lama. Perkiraan waktu satu jam seperti yang dijanjikan kepada si bapak pemilik sampan tidak terlalu meleset. Sehingga kami pun kembali menyusuri gang kecil tadi untuk menuju dermaga dan menyeberangi muara.
Oh iya, ada yang pernah disampaikan disini bahwa ketika akan kembali, ketauan bahwa ada jalur lain menuju rumah si Pitung yang tidak perlu menggunakan sampan. Itu dia jalur yang saya baca di beberapa website, tapi ya sudahlah. Lumayan juga sebagai bahan cerita, pengalaman naik sampan menuju Rumah si Pitung gara-gara ulahnya Tri.

Mission accomplished dan perjalanan napak tilas masih akan dilanjutkan menuju kota tua, Old Batavia.

Ciputat, 4 April 2011.

No comments:

Post a Comment