Seorang pria berbadan tegap yang tengah melintas di atas zebra cross tidak jauh dari sekolah Tarakanita jl. Kapten Tendean Jaksel diserempet oleh sepeda motor yang tampaknya terlambat berhenti. Kontan pria yang berkaos oblong itu kontan beraksi dengan menempeleng pengendara motor yang masih mengenakan helm. Sang korban hanya bisa bereaksi dengan melontarkan kata-kata protes.Tetapi hal itu justru memancing emosi si pejalan kaki yang mendorong sepeda motor dengan kakinya hingga pengendaranya nyaris terjengkang. Lalu dengan tenangnya pria pejalan kaki itu melanjutkan perjalanannya menyeberangi zebra cross sambil memaki pengendara motor yang apes itu dengan kata-kata, “dasar goblok, kalau ada orang melintas di zebra cross loe mestinya berhenti!”
Peristiwa itu menarik perhatian para pengemudi dan pengendara motor di sekitar lokasi sehingga lalu lintas di dua arah, termasuk saya, otomatis terhenti.
Kejadian seperti diatas tidak terlalu asing bagi warga ibukota yang akrab dengan kemacetan jalan raya dan segala implikasinya. Perilaku tidak tertib dan semau gue serta saling memaki di jalanan bisa terjadi kapan saja. Sehingga tidak salah jika ada istilah yang menyebutkan bahwa ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Bentuk ketidak disiplinan dan arogansi di jalan raya sangatlah beragam dan mencakup semua jenis kendaraan, dari yang pribadi hingga kendaraan umum.
Ambil contoh di kawasan pinggir kota seperti Ciputat misalnya. Carut marut lalu lintas di pagi hari membutuhkan stamina dan kesabaran yang prima., terutama di seputar flyover Ciputat. Penyebab utamanya adalah angkutan kota yang berhenti seenaknya. Bahkan tidak jarang kita temui kendaraan angkot yang berhenti diatas flyover untuk menunggu penumpang. Memang selama ini tidak pernah ada rambu-rambu huruf S (dilarang berhenti) yang dipasang diatas jembatan. Tapi semua pengendara juga tahu bahwa diatas jembatan tidak boleh berhenti, kecuali memang mogok.
Eh, tapi tunggu dulu. Ketika saya mengunjungi kota Jambi beberapa bulan lalu, saya juga melihat fenomena yang sama. Jembatan Makalam sepanjang 500 meter rupanya menjadi ajang rekreasi warga kota Jambi, sehingga di malam Minggu bisa ditemui mobil-mobil pribadi yang berhenti diatas jembatan dan penumpang turun untuk menikmati pemandangan dan …. berfoto ria.
Ulah parkir seenaknya juga saya temui ketika berkunjung ke kota Padang beberapa minggu yang lalu. Kendaraan kami yang akan menuju kota Padang di Minggu sore mengalami kemacetan menjelang Plaza Minang (hotel Basco). Saya sempat terperangah melihat kusutnya lalu-lintas disana. Menurut sopir kami, kemacetan diakibatkan oleh dua hal. Pertama, di sekitar Plaza Minang memang banyak angkutan kota yang “ngetem” menunggu penumpang dan kedua, mobil pengunjung Plaza tersebut tidak tertampung lagi, sehingga sebagian besar kendaraan terpaksa diparkir dipinggir jalan. Malah saking lubernya pengunjung, sebagian mobil akhirnya parkir diatas jembatan Air Tawar yang lokasinya persis disamping Plaza Minang. Ironinya, polisi yang bertugas disekitar Plaza tidak berupaya untuk melarang sama sekali.
Kembali ke kawasan Ciputat. Ingatan saya melayang ke tahun 90 an. Ketika itu ada seorang anggota polisi lalu-lintas yang cukup serius untuk mencoba menertibkan angkutan kota yang sering ugal-ugalan di jalan raya. Sopir-sopir angkot yang bandel langsung ditilang dan terkadang diberikan hukuman yang kreatif. Ya, saya bilang kreatif karena si sopir disuruh memarkirkan angkotnya di tepi jalan, lalu sopir tersebut disuruh berdiri diatas kap mobilnya dengan bertolak pinggang. Kontan pemandangan tidak lazim ini menjadi tontonan setiap orang yang lewat dan sopir tersebut tentu saja jadi bahan tertawaan khalayak, termasuk para sopir angkot lainnya. Agaknya pak polisi itu sudah habis akal, bagaimana cara yang paling efektif untuk memberikan efek jera bagi sopir angkota. Dalam pikirannya, pola hukuman seperti itu bisa memberikan rasa malu yang bisa membuat jera si pelaku.
Namun apa yang saya amati kemudian, justru pak polisi yang kreatif itu dipindah tugaskan ke tempat lain. Konon kabarnya gaya menghukum seperti itu diprotes oleh para sopir angkot.
Ya sudah, sing waras ngalah …..
Disiplin masyarakat memang merupakan salah satu problem besar bangsa ini karena kesadaran masyarakat untuk berdisiplin masih rendah. Banyak dari mereka tidak menyadari bahwa kesadaran berdisiplin akan kembali kepada kenyamanan mereka juga dalam menikmati jasa. Contoh ketidaknyamanan dan keruwetan yang muncul akibat disiplin masyarakat yang rendah, bukan hanya di jalan raya, tapi juga dari tidak tertibnya dalam antrian, membuang sampah, bahkan sampai perilaku yang sangat membahayakan nyawa seperti naik ke atap KRL.
Kondisi yang seperti sekarang memang tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kepada masyarakat, karena disitu ada andil pemerintah sebagai perumus kebijakan dan pelaksana peraturan yang dijalankan.
Namun mengingat bahwa masyarakat kita masih belum merata tingkat pendidikannya, pola tangan besi boleh jadi merupakan cara yang lebih efektif. Itulah yang dilakukan oleh Lee Kuan Yeuw di tahun 60-an, dan Singapore dewasa ini telah membuat kita iri. Pendekatan yang populis dan flamboyan tampaknya bukan cara yang tepat untuk membenahi disiplin masyarakat Indonesia saat ini.
Ciputat, 24 Mei 2011.
Peristiwa itu menarik perhatian para pengemudi dan pengendara motor di sekitar lokasi sehingga lalu lintas di dua arah, termasuk saya, otomatis terhenti.
Kejadian seperti diatas tidak terlalu asing bagi warga ibukota yang akrab dengan kemacetan jalan raya dan segala implikasinya. Perilaku tidak tertib dan semau gue serta saling memaki di jalanan bisa terjadi kapan saja. Sehingga tidak salah jika ada istilah yang menyebutkan bahwa ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Bentuk ketidak disiplinan dan arogansi di jalan raya sangatlah beragam dan mencakup semua jenis kendaraan, dari yang pribadi hingga kendaraan umum.
Ambil contoh di kawasan pinggir kota seperti Ciputat misalnya. Carut marut lalu lintas di pagi hari membutuhkan stamina dan kesabaran yang prima., terutama di seputar flyover Ciputat. Penyebab utamanya adalah angkutan kota yang berhenti seenaknya. Bahkan tidak jarang kita temui kendaraan angkot yang berhenti diatas flyover untuk menunggu penumpang. Memang selama ini tidak pernah ada rambu-rambu huruf S (dilarang berhenti) yang dipasang diatas jembatan. Tapi semua pengendara juga tahu bahwa diatas jembatan tidak boleh berhenti, kecuali memang mogok.
Eh, tapi tunggu dulu. Ketika saya mengunjungi kota Jambi beberapa bulan lalu, saya juga melihat fenomena yang sama. Jembatan Makalam sepanjang 500 meter rupanya menjadi ajang rekreasi warga kota Jambi, sehingga di malam Minggu bisa ditemui mobil-mobil pribadi yang berhenti diatas jembatan dan penumpang turun untuk menikmati pemandangan dan …. berfoto ria.
Ulah parkir seenaknya juga saya temui ketika berkunjung ke kota Padang beberapa minggu yang lalu. Kendaraan kami yang akan menuju kota Padang di Minggu sore mengalami kemacetan menjelang Plaza Minang (hotel Basco). Saya sempat terperangah melihat kusutnya lalu-lintas disana. Menurut sopir kami, kemacetan diakibatkan oleh dua hal. Pertama, di sekitar Plaza Minang memang banyak angkutan kota yang “ngetem” menunggu penumpang dan kedua, mobil pengunjung Plaza tersebut tidak tertampung lagi, sehingga sebagian besar kendaraan terpaksa diparkir dipinggir jalan. Malah saking lubernya pengunjung, sebagian mobil akhirnya parkir diatas jembatan Air Tawar yang lokasinya persis disamping Plaza Minang. Ironinya, polisi yang bertugas disekitar Plaza tidak berupaya untuk melarang sama sekali.
Mobil parkir diatas jembatan Makalam, JAMBI.
Mobil pengunjung Plaza Minang, parkir diatas jembatan Air Tawar, PADANG
Kembali ke kawasan Ciputat. Ingatan saya melayang ke tahun 90 an. Ketika itu ada seorang anggota polisi lalu-lintas yang cukup serius untuk mencoba menertibkan angkutan kota yang sering ugal-ugalan di jalan raya. Sopir-sopir angkot yang bandel langsung ditilang dan terkadang diberikan hukuman yang kreatif. Ya, saya bilang kreatif karena si sopir disuruh memarkirkan angkotnya di tepi jalan, lalu sopir tersebut disuruh berdiri diatas kap mobilnya dengan bertolak pinggang. Kontan pemandangan tidak lazim ini menjadi tontonan setiap orang yang lewat dan sopir tersebut tentu saja jadi bahan tertawaan khalayak, termasuk para sopir angkot lainnya. Agaknya pak polisi itu sudah habis akal, bagaimana cara yang paling efektif untuk memberikan efek jera bagi sopir angkota. Dalam pikirannya, pola hukuman seperti itu bisa memberikan rasa malu yang bisa membuat jera si pelaku.
Namun apa yang saya amati kemudian, justru pak polisi yang kreatif itu dipindah tugaskan ke tempat lain. Konon kabarnya gaya menghukum seperti itu diprotes oleh para sopir angkot.
Ya sudah, sing waras ngalah …..
Disiplin masyarakat memang merupakan salah satu problem besar bangsa ini karena kesadaran masyarakat untuk berdisiplin masih rendah. Banyak dari mereka tidak menyadari bahwa kesadaran berdisiplin akan kembali kepada kenyamanan mereka juga dalam menikmati jasa. Contoh ketidaknyamanan dan keruwetan yang muncul akibat disiplin masyarakat yang rendah, bukan hanya di jalan raya, tapi juga dari tidak tertibnya dalam antrian, membuang sampah, bahkan sampai perilaku yang sangat membahayakan nyawa seperti naik ke atap KRL.
Kondisi yang seperti sekarang memang tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kepada masyarakat, karena disitu ada andil pemerintah sebagai perumus kebijakan dan pelaksana peraturan yang dijalankan.
Namun mengingat bahwa masyarakat kita masih belum merata tingkat pendidikannya, pola tangan besi boleh jadi merupakan cara yang lebih efektif. Itulah yang dilakukan oleh Lee Kuan Yeuw di tahun 60-an, dan Singapore dewasa ini telah membuat kita iri. Pendekatan yang populis dan flamboyan tampaknya bukan cara yang tepat untuk membenahi disiplin masyarakat Indonesia saat ini.
Ciputat, 24 Mei 2011.
No comments:
Post a Comment