Wawancara radio El Shinta pagi ini dengan Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan dan Effendi Gazali (pakar komunikasi politik UI) cukup menarik untuk disimak. Topik yang dibahas adalah soal penggunaan email resmi bagi anggota DPR.
Pada awal diskusi sempat didengarkan komentar Roy Suryo (yang kini menjadi anggota Komisi I DPR) yang mengkritik biaya pengadaan infrastruktur IT di DPR yang angkanya bisa membuat hijau mata para pebisnis IT, Rp 9,75 milyar. Konon pembuatan infrastruktur IT ini sudah dimulai sejak tahun 2000 dan hingga kini belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Artinya, mengakses sistemnya dari gadget seperti iPad, Smart Phone atau BB seperti yang dijanjikan oleh Setjen DPR, belum terwujud sampai sekarang. Ini sungguh ironis. Soalnya kita hidup di abad informasi dimana teknologi informasi sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia modern.
Kalau dulu kita berkenalan dengan seseorang dan bertukar kartu nama, nomor telepon rumah atau kantor menjadi faktor penting untuk dapat menjamin kesinambungan komunikasi kita dengan orang itu. Belakangan nomor telepon yang dicantumkan di kartu nama ditambahkan dengan nomor handphone. Itu dianggap lebih efektif untuk menghubungi seseorang. Maklum, handphone umumnya selalu dibawa jika bepergian.
Jaman sekarang, mereka yang tidak memiliki handphone mungkin sudah tidak banyak lagi dan diprediksi akan semakin mengecil jumlahnya. Intinya, tidak punya handphone bisa diartikan bahwa yang bersangkutan akan terkucil dari komunitas dan pergaulan. Sejalan dengan handphone, budaya berkomunikasi melalui e-mail (surat elektronis) juga semakin meningkat.
Di tahun 2001 saya pernah diminta untuk memberikan presentasi (boleh dikatakan semacam executive briefing) tentang "PAPERLESS OFFICE" kepada jajaran eselon 1, 2 dan 3 Depnakertrans yang dihadiri juga oleh Menakertrans saat itu, Al Hilal Hamdi. Waktu itu pak Menteri sudah kebelet ingin menerapkan email system di departemennya sehingga komunikasi internal tidak lagi harus memboroskan kertas untuk surat menyurat.
Prakarsa pak Menteri itu patut dihargai, walaupun sebetulnya sudah agak terlambat. Soalnya institusi swasta (apalagi swasta asing, sudah lebih awal berkomunikasi melalui surat elektronis).
Di awal tahun 90-an saya terlibat dalam pemasangan "office systems" di Mobil Oil Indonesia dengan menggunakan fasilitas komputer mainframe. Ini proyek besar dan prestigius bagi pihak manajemen. Memang terlihat seperti proyek keren-kerenan, tapi itu merupakan keharusan yang diinstruksikan oleh kantor pusat Mobil Oil. Merubah budaya kerja yang mengandalkan dokumen kertas menjadi dokumen elektronis, bukanlah persoalan mudah. Komitmen top management menjadi syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Top Management harus berani bilang, "from now on, no more meeting invitation through paper".
Approach yang kurang lebih sama juga dilakukan oleh alm. Cacuk Sudariyanto ketika beliau menduduki posisi puncak di PT INDOSAT masih di tahun 1990-an. Manajer yang lalai, tidak membuka emailnya bisa-bisa tidak tahu bahwa hari ini ada meeting dengan Direksi. Akibatnya bisa fatal. Begitupun ketika beliau dimutasi memimpin PT TELKOM, era reformasi pun dimulai pada perusahaan raksasa tersebut. Sungguh besar jasa pak Cacuk untuk menanamkan budaya menggunakan email resmi di INDOSAT dan TELKOM. Hal itu tidak akan terwujud tanpa adanya komitmen kuat dan tangan besi dari pimpinan puncak.
Jadi kembali ke persoalan awal, untuk membudayakan penggunaan email di DPR, harus ada komitmen sangat kuat dari pimpinan dan Setjen DPR dalam menetapkan komunikasi email sebagai satu-satunya sarana komunikasi resmi lembaga terhormat tersebut. Mau undangan rapat kek, mau menyampaikan pengumuman apa kek, ya ... harus melalui email resmi DPR.
Mestinya Setjen DPR malu sama kalangan swasta dan kalangan pemerintahan yang sudah mensosialisasikan email sejak 10 tahun yang lalu. Anggota DPR harus paham bahwa jika tidak mau mengikuti tren era teknologi informasi, akan tergilas sendiri nantinya.
Jangan sampai terlontar lagi ucapan seperti, "Kami sudah tua, tidak perlu lah belajar Internet. Tokh sudah ada staf ahli dsb yang menanganinya". Suka atau tidak suka, ucapan ini telah menjadi olok-olok nasional dalam beberapa terakhir ini.
Ironinya lagi, saat ini saya diminta untuk membenahi IT sebuah universitas Islam yang cukup terkenal di Jakarta. Nyaris shock ketika mengetahui bahwa sebagian besar dosen dan stafnya masih menggunakan email gratisan seperti YAHOO dan GMAIL untu keperluan kantor. Fasilitas email resmi yang sudah disediakan, tidak dioptimalkan pemakaiannya.
Dalam hati saya cuma bergumam, "kok sepertinya jam saya malah mundur kembali ke suasana di tahun 2001?"
Saya merasa tertantang. Bagaimana bisa sukses membudayakan pemakaian email resmi di institusi yang top managementnya belum bisa menerapkan tangan besi.
Semoga.
Ciputat, 12 Mei 2011.
No comments:
Post a Comment