Sunday, November 13, 2011

Etika Berkomunikasi di Era Digital

Pesatnya perkembangan komunikasi digital belakangan ini telah mengubah cara manusia berinteraksi satu sama lain. Komunikasi melalui internet telah memudahkan kita untuk berkomunikasi melalui fasilitas e-mail (electronic mail), IM (Instant Messenger) dan video. Produk Skype yang bisa digunakan secara gratis telah begitu populernya digunakan sebagai video phone yang bisa menjangkau semua pengguna internet.
Perkembangan telepon selular telah memungkinkan kita berkomunikasi sesama teman, keluarga dan rekan bisnis tanpa tergantung waktu dan tempat. Fasilitas SMS pada telepon selular telah membuat orang meninggalkan tradisi pengiriman kartu lebaran melalui pos. Bahkan undangan perkawinan pun sudah banyak yang dilayangkan via SMS atau e-mail. Hal tersebut, konon dilakukan selain lebih praktis, juga irit biaya. Itulah salah satu contoh dari pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi di era serba digital ini.

Dari survei yang diselenggarakan Yahoo di Amerika Serikat tentang tren komunikasi digital, sejumlah responden mengakui bahwa mudahnya berkomunikasi via SMS, e-mail atau chatting di dunia maya telah mengubah etika dalam berkomunikasi. Sebagai contoh, separuh dari responden merasa tidak keberatan jika menerima undangan pernikahan lewat IM atau chatting.

Namun ternyata faktor usia punya peranan dalam pergeseran pola berkomunikasi ini. Misalnya, responden yang berusia di atas 50 tahun berpendapat bahwa ucapan selamat ulang tahun paling tidak harus disampaikan lewat telepon, bukan melalui SMS. Sementara responden yang berusia di bawah 30 tahun berpendapat bahwa pemberian ucapan selamat ulang tahun lewat SMS sudah memadai.

Yang menarik, sekitar 88 persen responden yang berusia diatas 50 tahun menyatakan akan minta maaf jika mereka terlanjur mengirimkan pesan yang kurang sopan melalui email.


Sementara 33 persen anak muda mengatakan bahwa mereka akan mengirimkan animasi (emotion icon) berbentuk wajah tersenyum.
Survei di atas memang dilakukan di Amerika, namun tampaknya jawaban para respondennya juga mewakili situasi di negeri ini yang terkenal sangat gesit dalam menyontek budaya asing.

Salah seorang teman ketika bincang-bincang beberapa waktu yang lalu, merasa prihatin melihat betapa mudahnya masyarakat kita tergoda oleh rayuan iklan produk-produk elektronik dan menganggap gadget elektronik sebagai simbol dari lifestyle (gaya hidup). Sehingga tidak heran jika produk-produk telepon genggam termasuk smart phone dan blackberry menjadi laris manis di Indonesia. Padahal dalam penggunaannya, perangkat teknologi canggih itu paling banyak hanya dipakai untuk chatting dan SMS belaka.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa aspek etika berkomunikasi di era digital harus dipersoalkan. Persoalannya simpel saja, perangkat kecil yang disebut telepon genggam itu telah mengubah pola dan tata cara kita dalam berkomunikasi. Malah bisa dibilang bahwa teknologi komunikasi digital telah merevolusi tata krama berkomunikasi sesama manusia.
Seperti diuraikan sebelumnya, fasilitas SMS telah mem­buat kita meninggalkan media komunikasi konvensional seperti surat dan telegram. Tetapi meluasnya penggunaan telepon genggam sebagai media komunikasi utama saat ini tidak diiringi dengan pemahaman yang benar dalam etika berkomunikasi di era digital ini.

Dalam pemakaian telepon seluler kita dituntut untuk memahami etikanya dalam berkomunikasi. Misalnya, apakah patut jika kita berkirim SMS ketika sedang berdiskusi dengan orang lain, ketika santap malam bersama atau meng­gunakan telepon seluler ketika berada di toilet umum. Jika ingin berbicara dengan orang-orang yang kita hormati atau orang yang dikenal sibuk, mungkin ada baiknya ditanyakan terlebih dahulu via SMS, apakah kita bisa menelepon ke telepon selulernya.

Betapa banyak kita temui orang-orang yang sengaja tidak mau membalas missed call yang terpampang di layar telepon genggamnya, walaupun identitas si penelpon adalah orang yang dikenalnya. Alasannya bisa jadi karena tidak mau diganggu atau tidak mau mengorbankan pulsa untuk menelepon kembali. Seorang tetangga pernah mencak-mencak ketika panggilan teleponnya ke telepon seluler pengurus RT-nya didiamkan dan tidak ditelepon kembali, padahal ia ingin melaporkan peristiwa kemalingan di rumahnya.

Tetapi mungkin yang paling banyak terjadi adalah, orang-orang yang tidak membalas SMS yang diterimanya, sekedar untuk memberikan konfirmasi bahwa SMS tersebut telah diterima dengan baik. Malah SMS yang membutuhkan jawa­ban, terkadang tidak direspon sama sekali oleh si penerima. Padahal kalau mau dianalogikan, seseorang yang menya­pa via SMS tak obahnya seperti orang yang menyapa kita ketika berpapasan di jalan. SMS itu pada hakekatnya adalah ucapan manusia yang direpresentasikan dalam bentuk teks dan dikirim melalui media elektronik. Dan sebagai manusia yang punya etika, agar tidak dianggap sombong, seyogyanya kita menjawab sapaan atau teguran tersebut. Keengganan dalam membalas SMS bisa mengakibatkan kita dianggap arogan oleh si pengirim SMS. Inilah yang tidak banyak disadari oleh sebagian dari kita.

Masih menyangkut komunikasi via SMS, cara penulisan pesan melalui SMS juga perlu diperhatikan. Setidaknya ada beberapa hal penting yang harus diketahui:
  • Jangan menulis pesan keseluruhannya dengan huruf besar (kapital), karena itu bisa dianggap bahwa si pengirim dalam keadaan marah atau emosi. Hal ini juga berlaku jika kita menulis e-mail atau chatting.
  • Hati-hati dalam menggunakan tanda seru dalam kalimat yang disampaikan.
  • Jangan sembarangan menulis singkatan kata dengan singkatan yang tidak lazim, karena bisa membingungkan si penerima. Tetapi perlu diketahui bahwa generasi muda (ABG—anak baru gede) biasa menggunakan singkatan kata-kata yang digunakan dalam SMS yang bisa membuat kening berkerut ketika membaca pesan singkat tersebut.
  • Seringkali untuk mengungkapkan ekspresi tertentu, dalam komunikasi SMS (seperti juga komunikasi via e-mail dan chatting) digunakan simbol atau kombinasi karakter yang disebut emoticon, singkatan dari emotion icon.
 Jadi kalau ada istilah gaptek alias gagap teknologi yang berhubungan dengan ketidak pahaman seseorang terhadap kemajuan teknologi, mestinya juga ada istilah gaptik alias gagap etika komunikasi.

Maka kini terpulang kepada kita masing-masing, apakah mau menjadi orang yang masuk kategori gaptek atau gaptik.

Aswil Nazir (HALUAN Minggu, 19 Juni 2011) 

No comments:

Post a Comment