Monday, November 28, 2011

KEARIFAN LOKAL: BELAJAR DARI ORANG YANG BODOH


Sebagian kita terlanjur percaya bahwa menjadi pintar itu adalah target yang harus dikejar karena sejak kecil sudah dijejali dengan banyak peribahasa dan kata-kata bijak yang mendikotomikan pintar dengan bodoh. Salah satunya adalah pepatah “Hemat Pangkal Kaya, Rajin Pangkal Pandai”.

Dewasa ini di negara kita banyak sekali orang pintar (pandai) dengan sederet titel yang seharusnya juga mencerminkan tingkat intelektual dan kearifannya.
Tapi apa yang juga kasat mata bagi kita sekarang, banyak orang-orang pintar itu yang justru jadi sumber masalah. Mereka itu saking pintarnya, begitu tega memperdayai orang-orang yang bodoh itu, memutar balikkan faktra, menyalahkan yang benar, dan membenarkan yang salah. Inilah gejala umum yang terjadi di negeri yang dahulu kala terkenal dengan penduduknya yang ramah dan elok laku.

Iseng-iseng saya coba browsing Mr. Google dengan keyword “pepatah bodoh”. Guess what?
Ternyata banyak sekali pepatah bijak yang memakai kata “bodoh” di berbagai negara. Dibawah ini saya kutip beberapa diantaranya:
  • Orang yang mengakui kebodohan menunjukkannya sekali; orang yang tidak mengakuinya menunjukkannya berulang kali. (Peribahasa Jepang)
  • Orang bodoh harus melakukannya pada saat akhir apa yang orang bijak melakukannya di awal. (Peribahasa Italia)
  • Orang bijak kadang-kadang merubah pikirannya, tetapi orang bodoh tidak. (Peribahasa Italia)
  • Cinta menyembunyikan kebodohan, dan kebencian melihat banyak kesalahan. (Peribahasa Irlandia)
  • Pikiran hebat membicarakan ide, pikiran biasa membicarakan kejadian, pikiran bodoh membicarakan orang. (Hyman G. Rickover)
  • Enam jam tidur untuk laki-laki, tujuh jam untuk perempuan, dan delapan jam untuk orang bodoh. (Pepatah Inggris)
  • Kesuksesan membuat sesuatu yang bodoh kelihatan bijaksana. (Pepatah Inggris)
  • Hanya ada dua hal yang tak terbatas. Alam semesta dan kebodohan manusia, dan aku tidak yakin yang pertama benar. (Albert Einstein)
  • Orang bijak adalah dia yang hari ini mengerjakan apa yang orang bodoh akan mengerjakannya tiga hari kemudian. (Abdullah Ibnu Mubarak)
  • Orang yang bijaksana tidak dapat menjawab pertanyaan yang paling bodoh. (Peribahasa Belanda)
Itu pepatah yang berasal dari luar negeri. Bagaimana dengan pepatah lokal kita?
Ya tentu saja ada, setidaknya saya pernah dengar pepatah Jawa yang berbunyi “Wong bodho dadi pangane wong pinter” yang artinya “Orang yang bodoh menjadi obyek rezeki orang pintar”.
Tapi ada satu pantun menarik dari Minangkabau yang patut kita ulas secara singkat dalam kaitannya dengan kebodohan ini.
Pantunnya berbunyi:

Sariak jo Sungai Pua,
Batagak, Batu Palano,
Rang cadiak nan "ka dijua",
Nan pandia "kaleh" batanyo.

Bait 1 dan 2 hanya berupa sampiran belaka.

Bait ke 3 "Rang cadiak nan ka dijua" artinya orang cerdik yang akan dijual.
Maknanya disini, KITA sesungguhnya yang lebih cerdik (pintar) karena bisa menjual orang cerdik itu.

Bait 4. Nan pandia "kaleh" batanyo.
Kaleh bukan bahasa Minang yang umum, tetapi digunakan oleh satu daerah di kabupaten Agam yang berarti “tempat”. Jadi makna kalimat “Nan pandia kaleh batanyo” artinya yang pandir (bodoh) adalah tempat bertanya.

Aneh rasanya, karena selama ini kita selalu diajarkan untuk bertanya kepada yang pintar dan cerdas.
Tetapi kalimat diatas bisa dimaknai bahwa sesungguhnya orang yang “bodoh” itulah tempat untuk bertanya, karena ia  akan memberikan jawaban yang jujur, apa adanya, apa yang diketahuinya. Pada umumnya orang bodoh itu lugu, tidak neko-neko. Berbeda halnya kalau kita bertanya kepada orang yang pandai, andaikan ia tidak jujur atau punya kepentingan tertentu, jawabannya bisa-bisa dipelintir dan ditakar sesuai dengan kepentingannya.

Pantun ini sekaligus merupakan pembenaran dari pernyataan seorang kolega saya di lembaga keuangan non bank yang bilang bahwa mereka lebih suka memberikan pinjaman uang kepada rakyat kecil ketimbang pengusaha besar, karena resiko ngemplangnya lebih kecil. Kalau begitu anggapan bahwa rakyat kecil yang bodoh dan lugu itu lebih jujur, bukanlah mengada-ada.

Maka kalau penegak hukum seperti KPK mau mengusut sejumlah penyelewengan dan kasus korupsi, sebaiknya memang bertanya kepada orang bawahan, seperti sopir, kurir atau juru ketik. Mencari kebenaran dengan bertanya kepada orang yang duduk diatas semisal Andi Nurpati, Anas Urbaningrum atau Miranda Goeltom bukanlah cara yang tepat. Itu kalau kita mempercayai filosofi dan kearifan dari pantun diatas. Mudah-mudahan saja KPK juga tidak termasuk kategori orang pintar yang suka memelintir data dan informasi.

Ciputat, 26 Juli 2011.

No comments:

Post a Comment