Saturday, November 26, 2011

KUDENGAR INDONESIA MERINTIH

Tumben, sore-sore saya dapat telpon dari sohib lama, A.S. Dt Perpatih yang sudah lama ngga kedengaran kabarnya. Belum sempat berbasa-basi, suaranya diseberang sana sudah tredengar lantang, “apa sih yang sedang terjadi di negeri kita ini?

Saya langsung paham apa yang dimaksud oleh pak Datuk. Jawaban spontan yang bisa saya berikan cuma tertawa lepas. Ya tentu saja, jawaban apa lagi yang lebih afdol ketimbang tertawa, mentertawakan semuanya, termasuk diri sendiri.
Saya lalu mengingatkan kembali ke pak Datuk akan kisah di pewayangan seperti yang sering digambarkan oleh R.A. Kosasih dalam komik-komiknya.

Keresahan maupun kekacauan politik dan hukum yang terjadi di negeri ini kalau analoginya dalam pewayangan pasti telah menimbulkan kegoncangan di suralaya yang bisa membuat kawah candradimuka memuntahkan laharnya dengan dahsyat. Pastinya para dewa jadi gelisah dan lazimnya Batara Narada akan melapor ke Hyang Jagadnata atau Batara Guru untuk mohon petunjuknya. Andaikata kekuatan jahat yang mengancam terlalu kuat dan sakti,  dewa sekelas Batara Guru pun bisa pusing tujuh keliling untuk mengatasinya. Dalam kisah Ramayana misalnya, para dewa terpaksa harus meminjam tangan Sri Rama dan melahirkan Hanoman untuk mengatasi kejahatan yang diumbar oleh Rahwana alias Dasamuka.

Rahwana memang dilukiskan sebagai sumber angkara murka yang setelah matinya pun masih menularkan gelembung-gelembung hawa jahat kepada manusia-manusia yang menyedot gelembung hawa nafsu tersebut. Rama sebagai titisan Wisnu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menumpas kejahatan sang Dasamuka, dan itupun dengan dibantu oleh Hanoman, sang pahlawan sejati.

Tadinya saya mau pakai analogi gonjang-ganjingnya pentas politik dan hukum di negeri ini ibarat kekacauan yang disebabkan oleh seorang Rahwana. Tapi ternyata analoginya ngga pas. Persoalannya, dalam kisah pewayangan biasanya dalam satu episode tokoh dajjal itu hanya satu figur. Sebut saya semisal Bomantara, Dasamuka atau Suyudana di kisah Mahabharata.

Sangat beda dengan situasi di negeri ini sekarang. Kita sepertinya menemui banyak tokoh hitam sekaliber Rahwana atau Suyudana, manusia sejenis Dorna yang doyan mengadu domba serta Sengkuni si pendengki dalam satu episode.
Nah, kalau satu Rahwana saja sudah membuat para dewa termehek-mehek, sehingga Sri Rama terpaksa maju mengeroyok bersama Hanoman, bagaimana ceritanya kalau kita berhadapan dengan sejumlah figur Rahwana?
Ini situasi yang ngga ada padanannya di komiknya RA Kosasih.  Karena kita berhadapan dengan banyak figur Rahwana, Bomantara dan para Kurawa sekaligus, butuh banyak satria sakti selain Rama dan Hanoman. Hanoman perlu di-cloning jadi seribu, bak Gatotkaca Sewu. Itulah makanya kita lihat betapa para buronan seperti Edy Tansil, koruptor kelas kakap BLBI, Nunun Nurbaeti dan kini Nazaruddin bisa lenyap ibarat punya aji halimunan (menghilang). Dan Nazaruddin terbukti memang sakti, seperti ungkapan paranormal baru-baru ini. Serangan-serangan baliknya yang ditujukan ke eks koleganya di partai Demokrat dan petinggi KPK membuat banyak pihak terkencing-kencing, ciut dan spontan secara berjamaah membantah.

Saya ingat di tahun 1980 rekan saya Lukman Hakim, ketua umum DM-UI memilih judul pleidoinya dengan “Kudengar Indonesia Memanggil” untuk menggambarkan keprihatinan mahasiswa UI terhadap  pemerintahan Orde Baru yang sudah menyeleweng. Kalaulah ditanya apa istilah yang cocok untuk menggambarkan keprihatinan kita akan penyelewengan para petinggi negara dan politikus saat ini, saya akan kasih judul “Kudengar Indonesia Merintih”.

Ya, ibu pertiwi rasanya sudah tidak bisa lagi memanggil atau bahkan menjerit sebagai protes terhadap penyelewengan dahsyat yang terjadi kasat mata. Ibu pertiwi kini hanya mampu merintih, tanpa daya. Banyak dari kita yang hanya mampu memprotes dalam hati karena merasa tidak punya kuasa dan tidak berani angkat bicara.
Mau protes melalui kekuatan pena pun harus ekstra hati-hati agar tidak di Prita-kan.
Duh nasib bangsaku ...

Ciputat, 20 Juli 2011.

No comments:

Post a Comment