Tuesday, November 29, 2011

25 TH WAFATNYA AYAHANDA NAZIR ST MUDO: MY FATHER MY HERO

Andaikan sang waktu bisa diputar mundur, ingin rasanya saya mengembalikannya ke momen sebelum tanggal 21 Juli 1986, saat sebelum ayahanda Nazir dipanggil kehadirat Sang Khalik di RS M. Jamil Padang. Sebuah harapan yang sia-sia memang. Sama sia-sianya dengan penyesalan diri, mengapa Tuhan tidak memberikan kesempatan bagi saya untuk berbakti lebih lama kepada ayahanda? Mengapa saya lalai memanfaatkan waktu yang diberikan-Nya untuk menimba ilmu pengetahuan dan informasi dari perjalanan hidup almarhum selagi beliau masih ada? Sungguh ini semua merupakan penyesalan yang tiada gunanya, sebagaimana ungkapan orang bijak tempo doeloe.

Sejujurnya, tidak banyak yang kami ketahui tentang detil masa kecil ayahanda dan masa remajanya. Saya dan adik-adik hanya tahu bahwa beliau merantau ke Jakarta setelah lulus dari MULO di Bukittinggi sekitar tahun 1934, menyusul kakak tertuanya, dr. A. Halim.
Setelah lulus dari AMS (SMA sekarang), ayahanda melanjutkan pendidikannya ke THS (kini Institut Teknologi Bandung) jurusan Kimia. Namun kuliahnya terhenti di tengah jalan karena pendudukan Jepang di tahun 1942. Beliau pun kembali ke Jakarta dan mengawali karir profesinya sebagai Asisten Kimia pada Sekolah Tinggi Kedokteran di tahun yang sama (1942).

Ringkasan perjalanan hidup ayahanda setelah tahun 1942 sedikit terkuak sekitar 2 bulan sebelum wafatnya, 21 Juli 1986. Seakan mempunyai firasat, ketika itu beliau yang kesehatannya mulai merosot, sempat menasehati adik saya, Iwai (Amriswal) yang sedang bimbang setelah diterima di jurusan teknik mesin via PMDK, untuk mengambil saja pilihan itu. ”Nanti kan bisa melanjutkan S2 ke Jerman,” begitu nasehat beliau. Lalu Iwai dimintanya mengambil kertas untuk mencatat riwayat hidup yang akan didiktekannya. Iwai yang didampingi Cece (kakaknya) sempat ogah-ogahan dan mengomel, ”kok papa ini ada-ada saja, seperti menyuruh tulis testamen?
Namun demikian Iwai dengan patuh mencatat biodata yang didiktekan ayahanda, walaupun apa yang dicatat hanya bermula dari tahun 1942, saat beliau mulai bekerja.

Menurut kisahnya, menjelang revolusi kemerdekaan di tahun 1944, beliau turut bergabung dalam barisan pelopor dan menjadi wakil ketua untuk wilayah Menteng Pulo di Jakarta. Dan di tahun 1945 ikut menghadiri upacara proklamasi Kemerdekaan RI di Pegangsaan Timur dan Rapat Raksasa di Lapangan IKADA Jakarta. Beliau pun turut membantu penjagaan rumah kediaman Soekarno pada permulaan proklamasi bersama pemuda-pemuda yang pos perjuangannya di rumah Soeprapto (eks Jaksa Agung pertama RI).

EPISODE YOGYAKARTA - KLATEN
Catatan berikutnya menyebutkan bahwa pada tanggal 4 Desember 1945 ayahanda dijemput oleh Prof. Moeljono ke Yogyakarta untuk membantu Prof. Johannes sebagai ahli kimia pada laboratorium persenjataan, dan diangkat sebagai wakil ketua bagian persenjataan. Lalu di tahun 1947 membantu mengajar pada berbagai sekolah tanpa SK, seperti SMA, SGKP dan Sekolah Guru Tinggi. Kemudian mendapat tugas mengajar pada Perguruan Tinggi Kedokteran dan Pertanian di Klaten. Di kurun tahun 1948-1949 sempat menjadi Direktur SMA B Yogyakarta.

Membaca episode Yogyakarta dan Klaten diatas, saya jadi teringat bahwa almarhum sekilas pernah cerita soal keikut sertaannya dalam penyusunan ”Nomenklatur Klaten” pasca proklamasi kemerdekaan RI. Saat itu saya menjadi pendengar yang baik saja karena sama sekali tidak paham tentang Nomenklatur Klaten tersebut.

Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam tulisan terpisah mengenai perjalanan napak tilas ke Yogyakarta dan Klaten di tahun 2010, informasi tentang Nomenklatur Klaten di Internet sangat minim. Saya hanya menemui satu artikel tulisan Prof. Sutarman (guru besar ilmu Faal FKUI) berjudul Sekadar Riwayat Pembentukan Bahasa Ilmiah Dalam Dasawarsa Permulaan Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Percaturan Ilmiah (1942-1952)“.
Dari artikel ini saya memperoleh jawaban mengenai latar belakang lahirnya Nomenklatur Klaten yang disebut-sebut almarhum tempo hari.

Menurut Prof. Sutarman, di awal masa pasca kemerdekaan banyak tata bahasa (gramatika) Indonesia yang belum dibakukan, sementara perbendaharaan istilah-istilah teknik dan ilmiah masih sangat kecil. Inipun merupakan kata-kata serapan dari bahasa asing, yang dieja sesuai pelafalan Indonesia. Dengan sejarah yang melampaui tiga jaman perdagangan dan penjajahan asing, dapat di mengerti bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat berbagai kata-kata yang bersumber berbagai bahasa asing, yang sudah mendarah daging dalam bahasa Indonesia sehingga keasingannya tidak lagi disadari oleh bangsa Indonesia.

Dalam catatannya, Prof. Sutarman menyebutkan beberapa kendala yang dialaminya ketika ikut mengembangkan bahasa ilmiah, khusus dalam bidang kimia dan ilmu-ilmu yang terkait, untuk dijadikan wahana komunikasi dalam pendidikan, pengajaran dan penelitian. Sementara itu pakar ilmu kimia dan ilmu-ilmu terkait serta perpustakaan yang dapat dijadikan sumber rujukan pada masa tersebut masih sangat langka.Masih menurut Prof. Sutarman, istilah KIMIA yang merupakan padanan untuk Chemistry dirujuk dari kata Arab: Al Kimiah (kata yang menurunkan kata chemistry, melalui kata Perancis chimique).

Dalam tahun 1946 – 47 Prof. Sutarman beserta beberapa aktivis dalam kimia (tampaknya ayahanda, Nazir bergabung disini), berkumpul di Klaten, merumuskan sebuah Nomenklatur kimia, sebagai pedoman untuk secara sistematik membentuk nama bagi atom dan senyawa kimia organik dan anorganik (nomenklatur), yang diterbitkan sebagai stensilan dengan nama Nomenklatur Klaten.

Di tahun 1947 itu ayahanda turut mengajar Kimia di Perguruan Tinggi Kedokteran (sebelum lahirnya fakultas kedokteran UGM) yang menggunakan rumah sakit Dr. Suradji Klaten sebagai tempat kuliah dan praktek mahasiswanya.

Berada di perantauan di tanah Jawa tidaklah membuat ayahanda merasa jauh dari sanak saudara, karena cukup banyak pemuda Minangkabau yang berada di tanah rantau. Apalagi dalam kurun waktu 1949 hingga 1950, pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), pemerintahan Republik Indonesia (RI) yang berada di Yogyakarta dipegang oleh Mr. Assaat (paman beliau) sebagai Acting Presiden RI dan dr. A. Halim (kakak tertua beliau) sebagai Perdana Menteri RI.
Pada masa RIS, ayahanda tinggal bersama dr. Halim di rumah milik Bung Hatta di jalan kecil seberang Gedung Agung, Jogja. Ini menurut penuturan Prof. Arma Abdullah M.Sc (mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta 1978-1991) yang juga keponakan dari Mr. Assaat. Ketika itu Prof. Arma baru mulai kuliah di UGM dan bercerita bahwa setiap minggu rutin bermain tenis di samping Gedung Agung bersama ayahanda, Mr. Assaat dan dr. Halim.

EPISODE BUKITTINGGI DAN JAKARTA
Pada tahun 1950 ayahanda memperoleh beasiswa (pampasan perang dari Belanda) untuk studi Opracht Depkes-PPK ke Den Haag, Belanda. Namun sayang, studi tersebut tidak dapat diselesaikan karena beliau menderita sakit, disamping alasan faktor cuaca dan makanan yang tidak cocok. Akhirnya di tahun 1951 beliau kembali ke Jakarta, dan beberapa bulan kemudian diangkat menjadi Direktur SMA Negeri di Bukittinggi. Selama di Bukittinggi, beliau ikut mendirikan, membina dan mengajar SMA PSM dan SMA Dharmapala.

Momen penting dalam kehidupan ayahanda terjadi pada bulan Juli 1954, ketika beliau secara mengejutkan menyunting salah satu siswinya di kelas I SMA, Reno Gadis yang kini merupakan ibunda kami, anak-anaknya.

 
Foto perpisahan pelajar SMA A, B dan C Bukittinggi dengan Nazir St. Mudo, 17 Agustus 1954
(foto koleksi mamanda Ir. H. Amrin Kahar Mantari Rajo)


Setelah pernikahan, kedua mempelai langsung pindah ke Jakarta untuk memulai kehidupan baru di rumah mungil di kawasan Menteng. Ayahanda Nazir yang belum sempat menyelesaikan studi sarjananya diangkat menjadi dosen Kimia Anorganik di FKUI dan dosen luar biasa pada Universitas Nasional dan Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi dr. Moestopo.
Rumah kecil di jalan Jambu no. 6 Pav Menteng itu merupakan tonggak sejarah bagi keluarga Nazir karena disitulah tempat dibesarkannya empat anak almarhum, yaitu Aswil, Yanti, Rini dan Linda.

 
Foto ketika acara resepsi sederhana untuk kerabat dekat di rumah dr. A. Halim, jalan Tjiandjur no. 24 Jakarta, awal September 1954. Tampak dalam foto: Nizar (kakak no-2, paling kiri), Julius (adik, ketiga dari kiri), Budiono (eks Gub Jateng, ke-4 dari kiri), A. Halim (kakak tertua, ke-5 dari kiri). Berturut-turut ke kanan, Suprapto (Jaksa Agung Pertama RI), Nazir, Reno, Sri Sultan HB IX, TB. Simatupang (eks Kepala Staf APRI), Mr. Assaat (paman dari Nazir dan Halim). Saat ini hanya ibunda Reno yang masih ada, lainnya telah almarhum.


BERBAKTI DI KAMPUNG HALAMAN
Pengabdian ayahanda di FKUI rupanya harus berakhir di penghujung tahun 1962 ketika beliau memutuskan untuk menerima tawaran Prof. Dr. Roesma, Rektor Universitas Andalas Padang untuk bersama-sama membesarkan perguruan tinggi di kampung halaman. Sebuah keputusan yang berat, namun tekad ayahanda sudah bulat.

Agaknya tekad kuat, komitmen dan dukungan keluarga merupakan faktor kunci bagi sebuah keberhasilan dalam meraih cita-cita. Ayahanda Nazir berhasil menunaikan misinya mengemong dan membesarkan jurusan Kimia di Fakultas Kedokteran dan FIPIA (kini FMIPA) UNAND. Mengingat bahwa dosen Kimia masih langka pada masa tersebut, tenaga beliau juga dipakai di berbagai fakultas lain, termasuk IKIP. Bahkan SMA Negeri 2 Padang belakangan (antara tahun 1971-1974) sempat meminta bantuan ayahanda untuk mengajar mata ajaran Kimia di kelas III.

Kegiatan mengajar ini sempat terhenti dan dikurangi setelah beliau mendapat gangguan jantung di bulan Agustus 1974, persis menjelang lahirnya adik saya yang paling bungsu, Alwis. Beliau memang terkenal sebagai seorang perokok berat. Sejumlah mahasiswa dan murid beliau sering berseloroh bahwa ukuran waktu pelajaran Kimia yang diberikan beliau adalah sebanyak isapan 7 batang rokok. Artinya, setiap kali mengajar beliau menghabiskan 7 batang rokok. Bisa dibayangkan kalau dalam sehari beliau mengajar di empat kelas, ada 28 batang rokok yang habis diisap. Menurut pengamatan saya sebelum beliau sakit, dalam sehari ada sekitar 3-4 bungkus rokok yang dihabiskannya. Ini memang jumlah yang berlebihan. Dan menurut pengakuan Prof. Arma Abdullah, ayahanda telah aktif merokok sejak berdomisili di Yogyakarta tahun 1946.

Disamping aktif mengajar Kimia di berbagai fakultas dan SMA, sejak tahun 1973 ayahanda cukup banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan pembangunan masjid Al Azhar di kampus Air Tawar. Beliau tidak segan-segan untuk ”memohon” kepada bekas murid-muridnya di SMA yang sudah jadi tokoh, seperti Azwar Anas, Hasan Basri Durin dll untuk memberikan sumbangan bagi pembangunan masjid. Di tahun 1975 beliau sebagai Ketua Yayasan Pembangunan Masjid diundang ke Jakarta untuk menerima dana dari pemerintah Saudi yang disalurkan melalui bapak M. Natsir.

 

Penghargaan dari alumni Kimia FMIPA UNAND diserahkan oleh alumni senior, 
bapak Dasli Noerdin kepada ibunda Reno. 

Kini 25 tahun telah berlalu sejak meninggalnya ayahanda. Masjid Al Azhar yang menjadi ikon kampus Air Tawar selama ini, terancam di gusur karena Universitas Negeri Padang tengah membangun masjid baru penggantinya yang lebih besar, tidak jauh dari lokasi masjid Al Azhar.

Nazir St. Mudo yang sepanjang hayatnya tetap setia dengan profesi dan kepakarannya, ilmu Kimia, kini telah menjadi bagian dari sejarah walaupun diktat Kimia bikinannya konon masih digunakan mahasiswa hingga sekarang.
Tampaknya karena alasan itulah, alumni Kimia FMIPA UNAND ketika melakukan reuni di Gedung Serba Guna DPR-RI Kalibata, Jakarta Selatan pada tanggal 10 Juli 2011, menganugerahkan Alumni Kimia UA Award kepada alm. Nazir St. Mudo sebagai penghargaan atas pengabdiannya bagi jurusan Kimia FMIPA UNAND. Penghargaan ini sungguh merupakan kado yang indah bagi keluarga almarhum, tepat seperempat abad setelah beliau berpulang kerahmatullah.


PENUTUP
Nazir St. Mudo dalam pandangan kerabat, sanak famili, murid maupun keluarga dianggap sebagai sosok yang pendiam, khususnya untuk hal-hal yang bersifat pribadi. Tetapi beliau bisa bersemangat jika berdiskusi tentang topik yang menjadi interest-nya, seperti olahraga badminton dan bola. Beliau adalah tipe pekerja, ringan tangan dan ”action oriented”.

Saya sebagai anak tertua, tanpa disadari sejak kecil telah memposisikan ayahanda sebagai mitra diskusi dan tempat bertanya jika mengalami kesulitan baik dalam pelajaran ataupun kegiatan ekstra kurikuler di sekolah.
Misalnya, di awal tahun 70-an kami berdua bisa asyik menyimak penyiar RRI di Minggu pagi yang mendiktekan lirik lagu-lagu pop Indonesia yang sedang ”tren”.

Di lain kesempatan, saya pernah meminta ayahanda untuk menterjemahkan artikel musik pop CCR (Creedence Clearwater Revival) dari majalah musik berbahasa Belanda, POPFOTO. Pasalnya, saya ingin memasukkan artikel tersebut ke buletin sekolah di SMA. Beliau dengan senang hati menterjemahkannya buat saya.
Ketika saya menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK) di SMA, ada kejadian yang membuat siswa heboh. Mendadak diketahui ada pekerjaan konstruksi di samping halaman sekolah kami yang ternyata untuk membangun gedung SAKMA (Sekolah Analis Kimia). Direktur kami, bapak Djoko Oentoeng (almarhum) ternyata juga tidak tahu menahu, sehingga organisasi siswa berniat melakukan protes. Saya bingung, bagaimana bentuk protes yang harus dilakukan? Akhirnya di rumah saya konsultasi dengan ayahanda. Beliau dengan enteng bilang, kirim saja surat protes ke PDK dan DPRD. Saya masih bingung, bikin suratnya seperti apa? Mungkin karena tidak tega melihat saya uring-uringan, beliau membuatkan draft surat protes tersebut. Saya pun lega dan mengetik surat resminya untuk diantar sendiri ke lembaga-lembaga itu.

Lucunya, Ketua DPRD Sumbar saat itu adalah mamanda saya, Djohari Kahar SH (kakak kandung ibunda Reno). Hingga kini beliau tidak pernah tahu bahwa otak pembuatan surat protes siswa SMAN 2 Padang itu adalah suami adik kandungnya sendiri.

Demikianlah sekelumit penggalan kisah kehidupan serta karir ayahanda Nazir St. Mudo yang masih dapat kami telusuri. Beliau adalah seorang dosen yang tidak punya titel kesarjanaan, tidak bertaburan bintang jasa, apalagi bergelar pahlawan. Namun bagi anak-anaknya, almarhum adalah guru dan pahlawan yang sesungguhnya, yang senantiasa mengajarkan bahwa moral dan kejujuran diatas segala-galanya. Bagi saya, My Father My Hero.
Semoga almarhum diberikan kelapangan dan tempat yang layak disisi-Nya.

Ciputat, 21 Juli 2011.

No comments:

Post a Comment