Wednesday, November 2, 2011

Sekilas Old Batavia: Jembatan Kota Intan dan Toko Merah

Tahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia  yang terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.

Nama Batavia berasal dari suku Batavia, sebuah suku Germanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein. Bangsa Belanda dan sebagian bangsa Jerman adalah keturunan dari suku ini.
Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar buatan Belanda (VOC), dibuat pada 29 Oktober 1628, dinahkodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Tidak jelas sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang merupakan awal dari nama Betawi- Batavia, atau bahkan sebaliknya, pihak VOC yang menggunakan nama Batavia untuk menamai kapalnya. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju kota Batavia ini.
Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.

Tahun 1635, kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.

Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana. Meski dekrit Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang menyambut hangat dekrit ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk melindungi warisan era kolonial Belanda

Salah satu obyek yang menarik di kawasan Kota Tua adalah Jembatan Kota Intan.
Jembatan ini dibangun pada tahun 1628 dengan nama Engelse Burg yang berarti “Jembatan Inggris” karena jembatan ini menghubungkan Benteng Belanda dan Benteng Inggris yang terletak berseberangan dibatasi oleh Kali Besar – Kali Ciliwung. Pada tahun 1628 dan 1629 terjadi penyerangan dari Banten dan Mataram terhadap Benteng Batavia yang mengakibatkan jembatan ini rusak, namun dibangun kembali oleh Belanda pada tahun 1630 dan pada saat itu dikenal dengan nama De Hoender Pasarbrug atau “Jembatan Pasar Ayam” karena lokasinya berdekatan dengan Pasar Ayam.



Selanjutnya pada tahun 1655 jembatan ini diperbaiki kembali oleh Belanda karena mengalami kerusakan akibat sering terkena banjir dan korosi akibat air asin, dan namanya diganti menjadi Het Middelpunt Brug atau “Jembatan Pusat”. Pada April 1938 jembatan ini dirubah menjadi jembatan gantung agar dapat diangkat untuk lalu lintas perahu dan untuk mencegah terkena banjir yang sering terjadi, namun bentuk dan gayanya tetap dan tidak pernah dirubah. Tetapi namanya diganti menjadi Ophalsbrug Juliana atau Juliana Bernhard.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI nama jembatan ini diganti menjadi ”Jembatan Kota Intan”, disesuaikan dengan nama lokasi setempat. Letak Jembatan Kota Intan berada dekat dengan salah satu bastion Kastil Batavia yang bernama Bastion Diamont (Intan). Kastil Batavia yang merupakan kota tua Batavia sering disebut sebagai Kota Intan.
Jembatan Kota Intan ini sering juga disebut sebagai “Jembatan Jungkit.  Sebab pada tempo dulu jembatan itu dapat diangkat bila ada kapal yang hendak melintas.

Dimasa dulu (jaman Batavia), kapal yang mengangkut rempah-rempah dari pedalaman ke Pasar Ikan atau sebaliknya ke gudang dan pasar sering melewati  kali di bawah Jembatan Kota Intan. Jembatan tua peninggalan Belanda itu menghubungkan sisi Timur dan Barat kota Intan di jalan Kali Besar Barat, Jakarta Utara.

 
Pemandangan dari atas jembatan Kota Intan. Alangkah indahnya jika pemerintah kota DKI bisa memanfaatkan kanal ini sebagai obyek wisata seperti halnya halnya Venetia dan beberapa negara Eropah lainnya. Di sisi kanan kanal adalah Hotel Batavia.


Bangunan bersejarah lainnya yang cukup layak untuk dibahas adalah bangunan yang dinamakan TOKO MERAH.
Bangunan Toko Merah, merupakan salah satu dari 216 monumen cagar budaya, yang tersebar diseluruh wilayah DKI Jakarta. Merupakan salah satu dari sedikit monumen warisan VOC yang berada didalam kawasan bekas kota Jakarta Lama yang disebut Batavia, dan Toko Merah merupakan satu-satunya bekas rumah tinggal elit di zaman kejayaan VOC, yang paling utuh, terawat, serta terus mempertahankan keasliannya hingga saat ini. Dahulu Toko Merah pernah juga diberi nama Hoofd Kantoor van den Berg.
 Bangunan TOKO MERAH dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaff Willem Baron van Imhoff, yang kemudian menjadi Gubernur VOC tahun 1743 – 1750.



Pada tahun 1743, setelah diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC, bangunan TOKO MERAH bagian utara dijadikan kampus dan asrama Academie de Marine, guna menghasilkan opsir-opsir laut VOC yang terdidik dan terampil dibidang pelayaran guna mendukung perdagangan VOC.



Toko merah tergolong bangunan bersejarah karena dibuat oleh Baron van Imhoof, selain ia menjadi Gubernur Jenderal VOC, Baron van Imhoof juga seorang tokoh pembaharu pada zamannya. Dia banyak menelurkan karya-karya diantaranya mendirikan seminari dan Academie de Marine di Batavia pada tahun 1743 – 1755, dibidang perbankan ia mendirikan bank pertama di Batavia yaitu Bank van Lenning tahun 1752, dibidang pers dan jurnalistik ia memberikan izin diterbitkannya koran pertama di Batavia Bataviasche Nouvelles tahun 1744. pada tahun 1745 van Imhoof membentuk masyarakat candu (Amfioensocieteit), dan pada tahun 1745 ia mendirikan villanya Buitenzorg yang kini terkenal dengan nama Istana Bogor. Pada tahun 1746 ia juga mendirikan kantor pos pertama di Batavia.

Di depan gedung inilah mengalir sungai Groote Rivier (Kali Besar) yang pada masa itu suatu kerusuhan besar terjadi yaitu pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa itu terjadi 10 tahun setelah gedung tersebut berdiri (1740). Di muara Ciliwung ini, yang kala itu airnya jernih, pada pagi dan sore, menjadi tempat mandi para Indo-Belanda. Sementara di malam terang bulan, para muda-mudi, sambil main gitar, bernyanyi menumpahkan isi hati mereka.

Penjelajah Inggris yang terkenal seperti James Cook, orang Eropa pertama yang menemukan benua Australia, dan Kapten William Bligh nakhoda kapal legendaris HMS Bounty, ternyata pernah singgah di Batavia.
Penulis serta saksi dari kejayaan toko merah di masa lalu, Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah menulis, Kapten Bligh pernah menginap di Toko Merah setelah lolos dari pemberontakan wakil nakhoda Christiaan Fletcher yang mengambil alih kapal HMS Bounty pada akhir Januari 1790. Mereka kemudian terdampar dan akhirnya beranak-pinak di Kepulauan Pitcairn (800 kilometer sebelah timur Australia). Kapten Bligh sendiri, bersama delapan belas pelaut yang setia padanya sempat terkatung-katung di atas sebuah sekoci selama dua setengah bulan sebelum akhirnya terdampar di Kupang. Kisah ini pernah diangkat ke layar lebar, dalam film Mutiny on The Bounty.

Seiring dengan berjalannya waktu, kepemilikan toko merah berganti begitu pula dengan fungsinya. Sejarah mencatat beberapa gubernur Belanda pernah menjadi pemilik toko merah, termasuk sang penandatangan perjanjian Gianti, yang memecahkan kerajaan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, yaitu Nicolaas Hartingh. Fungsi toko merah yang semula merupakan rumah pribadi, beralih menjadi penginapan, kemudian beralih kembali sebagai rumah tinggal dan pernah pula sebagai gedung kantor pusat milik salah satu perusahaan the big five yang pernah jaya di zamannya.

Beberapa kisah sejarah yang ditorehkan oleh toko merah:
  • Van Imhoff pernah menjalani hukuman tahanan rumah atas perintah Gubernur Valckenier terkait peristiwa Chineesche Troebelen tahun 1740.
  • Toko merah pernah menjadi tempat pelelangan budak (orang pribumi). Bangunan ini merupakan saksi sejarah betapa menyedihkan nasib para budak di Batavia kala itu. Mereka diperjual belikan dan diperlakukan seperti binatang. Di tempat ini pernah dilelang sebanyak 162 budak belian.
  • Pada abad ke-18 toko merah pernah dimiliki oleh orang Tionghoa dan fungsinya menjadi rumah toko (ruko). Sejak saat itu pengaruh arsitektur cina terlihat dan batu bata yang tak diplester kemudian di cat dengan warna merah hati ayam.
Ciputat, 4 April 2011
(disarikan dari http://jakartaoke.blogspot.com/2010/02/jembatan-kota-intan-di-jakarta.html dan http://alwishahab.wordpress.com/2009/10/01/toko-merah-saksi-sejarah-voc/)

No comments:

Post a Comment