Wednesday, November 2, 2011

PARA INSPIRATOR ITU KINI TELAH TIADA


Tulisan ini dipersembahkan khusus untuk adik-adik saya Rina, Rika, Rizman; Yudi dan Didit; Sylvi, Nancy, Wieke dan Iver dengan pesan You should be proud because you have a great father.


Foto kenangan tiga serangkai jebolan Senirupa ITB (kiri ke kanan):
Ibenzani Oesman, Adrin Kahar, Soemarjadi
Selasa, 1 Desember 2009 jam 07:20 masuk SMS dari Rika, adik sepupu saya yang isinya singkat saja “ayah meninggal jam 7:10”. Selang beberapa detik kemudian, saya menerima telpon dari dr. Diah, saudara lainnya yang menyampaikan kabar sama namun dengan nada setengah menyesal “yaaa… da Wil, pas tempat di ICU RS M. Jamil siap, oom keburu meninggal”.

Itulah anti-klimaks dari sebuah upaya maksimal yang dilakukan para saudara, anak-anak, kemenakan dan kerabat Mamanda Adrin Kahar sebelum yang bersangkutan dipanggil ke pangkuan Yang Maha Kuasa pada hari Selasa pagi, 1 Desember 2009 di RS Ibnu Sina Yarsi Padang.
Malam sebelumnya saya masih berbalas SMS dengan Rina (anak sulung almarhum) yang sedang mengupayakan membawa ayahandanya untuk diterbangkan ke Jakarta. Maklum almarhum yang dirawat di RS Ibnu Sina sejak 12 November lalu kondisinya makin hari semakin memburuk.
Upaya Rina dan adik-adik untuk membawa sang ayah ke Jakarta ternyata tidak semudah yang diperkirakan, karena terkendala oleh persoalan tabung oksigen. Saya yang menerima kabar ini dari Rina Senin malam mencoba mengontak teman lama, Capt. Ariel yang bertugas di Garuda. Syukur-syukur Ariel sedang tidak terbang, demikian harapan saya ketika itu. Rupanya doa saya terkabul, Ariel bisa dikontak dan meminta saya standby sementara ia mengkonfirmasikan ke District Manager GA Padang dan menghubungi Flight Surgeon serta Travel Clinic Garuda. Disitulah baru jelas persoalannya bagi saya, bahwa tabung oxygen yang akan digunakan pasien di atas pesawat terbang mesti tabung yang khusus. Tabung itu haruslah tabung O2 (oxy bottle) FAA Approved yang memiliki flow rate berbeda dengan oksigen yang umum dipakai di rumah sakit. Oxy bottle ini hanya dikeluarkan oleh Clinic Garuda dan jumlahnya di Indonesia konon hanya 20 unit. Itu informasi yang saya peroleh.
Senin malam itu Capt. Ariel sudah memperoleh konfirmasi dari Clinic GA bahwa tabung tersebut akan dipersiapkan Selasa pagi untuk kemudian diterbangkan ke Padang.
Namun Selasa subuh kondisi mamanda Adrin semakin menurun dan mengalami koma, disarankan untuk segera masuk ke ICU. Sayangnya RS Ibnu Sina tidak memiliki fasilitas ICU, sehingga diupayakan tempat di ICU rumah sakit lain seperti M. Jamil atau Sitirahmah. Akhirnya seperti yang diutarakan diatas, sebelum sempat dipindahkan ke ICU RS M. Jamil, mamanda Adrin Kahar telah dipanggil menghadap Sang Khalik persis sehari setelah beliau mencapai usia yang ke-80 pada tgl 30 November. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Saya hanya bisa tertegun setelah mendengar kabar duka tersebut dan berdoa "ya Allah, semoga memang inilah jalan terbaik yang Engkau tunjukkan bagi kami semua”. Padatnya aktivitas di kantor hari itu tidak memungkinkan saya turut berangkat ke Padang untuk melepas almarhum paman sekaligus teman diskusi saya, Drs. Adrin Kahar, Ph.D. (Hon), Ketua Legiun Veteran RI dan mantan Rektor Univ. Bung Hatta Padang ke tempat peristirahatan terakhirnya. Saya betul-betul merasa malu dan ingin meminta maaf kepada Rina, Rika dan Rizman karena hal ini.

Ya benar, almarhum menurut hirarki keluarga merupakan paman (kakak kandung ibu). Tapi dalam kenyataannya beliau adalah juga teman diskusi saya untuk topik-topik yang menyangkut sejarah.
Beliau inilah nara sumber tambahan sewaktu saya merangkum kembali tulisan singkat (untuk konsumsi facebook) tentang tokoh-tokoh Syarifah Nawawi, Tan Malaka, Adinegoro serta kisah Simpang Kandang tempo doeloe, sejarah lapangan Imam Bonjol dan Pergurruan Adabiah. Jika ada pertanyaan atau hal-hal yang kurang jelas ketika saya menulis atau merangkum artikel sejarah, khususnya sejarah perjuangan RI, saya akan langsung angkat telepon dan berdiskusi dengan beliau. Boleh dikatakan komunikasi per telepon antara saya dengan almarhum yang berdomisili di Padang terjadi 2-3 kali dalam seminggu. Terkadangi justru beliau yang menelpon saya hanya sekedar untuk bertanya apakah saya ada baik-baik saja, yang karena kesibukan kantor lupa untuk menelpon beliau. Bahkan ketika telah dirawat di RS Ibnu Sina pun komunikasi telepon kami tetap terjalin hampir setiap hari walau hanya berisi obrolan ringan dan harapan saya semoga beliau segera sembuh.

Mamanda Adrin boleh dikatakan sebagai guru sejarah de-facto saya. Di tahun 1981 beliau mengajak saya mengunjungi museum sejarah ABRI, Mandhala Wanabakti di jalan Gatot Subroto. Disana beliau menjelaskan dengan detil peristiwa sejarah dari foto-foto yang terpajang. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah ucapannya yang menyayangkan hilangnya foto-foto jenderal A.H. Nasution dari pajangan museum tersebut. Saya langsung maklum karena ketika itu pak Nas turut mendukung gerakan petisi 50, sebuah gerakan yang dimusuhi dan mengalami tekanan luar biasa dari pemerintahan Soeharto kala itu.
Bulan Maret 2009, 28 tahun kemudian, giliran saya yang mengajak oom Adrin yang sedang berobat ke Jakarta untuk mengunjungi museum, Gedung Joang 45 yang sedang menampilkan pameran foto 100 tahun Sutan Sjahrir. Beliau menyambutnya dengan antusias walaupun kondisi fisiknya sudah sangat merosot. Ternyata itu adalah perjalanan terakhir saya berdua dengan almarhum.

Pengetahuan sejarah oom Adrin yang akrab dipanggil oom Gampo (singkatan dari gelarnya St. Gampo Alam) khususnya untuk perjuangan kemerdekaan di Sumbar, patut diacungkan jempol. Padahal beliau adalah lulusan Seni Rupa ITB tahun 1962. Hanya karena beliau merupakan tokoh pelaku sejarah yang juga menyenangi sejarah, maka arsip dan literatur sejarah nasional (termasuk sejarah Sumbar) yang dimilikinya cukup lengkap.
Saya berani menyebutkan mamanda Adrin sebagai pelaku sejarah karena ketika terjadi Agresi Militer ke-2 tahun 1948 beliau yang masih pelajar SMA Bukittinggi bergabung dengan korps Tentara Pelajar (TP). Belakangan almarhum direkrut menjadi anggota pasukan Mobile Brigade (Mobbrig yang kini dinamai Brimob) yang dikenal sebagai pasukan inti yang berhasil mempertahankan Front Palupuh, Agam. Tahun 1952 setelah tamat SMA beliau meneruskan kuliah ke Jurusan Seni Rupa ITB dan baru lulus tahun 1962 karena aktivitasnya di organisasi luar kampus, GMS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) Bandung.

Panggilan Kampung Halaman
Empat puluh enam tahun yang lalu, Selasa tanggal 15 Oktober 1963 bertempat di Lokal-C Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Andalas di Kompleks Air Tawar Padang, berlangsung acara peresemian dimulainya perkuliahan perdana Jurusan Senirupa FKIP Universitas Andalas. Peristiwa ini merupakan kejadian yang patut dicatat dalam sejarah perkembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Jurusan Senirupa di luar pulau Jawa. Perlu diketahui bahwa ketika itu perguruan tinggi Senirupa baru ada di pulau Jawa, yaitu di Bandung, Yogyakarta, Malang dan Semarang. Dengan demikian Padang merupakan kota pertama di luar Jawa yang mempunyai perguruan tinggi Senirupa.

Tanggal peresmian diatas merupakan hasil upaya lobbying yang diawali oleh Rektor Universitas Andalas Padang (Prof. dr. A. Roesma, alm.) ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam bulan September 1960. Dalam kesempatan itu Rektor UNAND dan salah seorang pimpinan Departemen Senirupa dan Perencanaan ITB (Prof. Edie Kartasuban karna, alm.) menyepakati rencana pembukaan Program Studi Senirupa di lingkungan Universitas Andalas di Padang.
Setelah melalui beberapa tahapan proses, maka Jurusan Senirupa ITB mengajukan beberapa nama untuk dijadikan calon dosen Jurusan Senirupa FKIP UNAND yang diambil diantara mahasiswa senior Jurusan Senirupa ITB, yaitu: (1) Adrin Kahar, (2) Ibenzani Oesman, (3) Soemarjadi.
Pada saat peresmian kuliah perdana Jurusan Senirupa FKIP UNAND itu di tahun 1963, ketiga nama diatas telah lulus dari ITB dan diangkat sebagai dosen Jurusan Senirupa FKIP UNAND.

Tiga Serangkai Sebagai Inspirator
 Saya yang baru menginjak kelas 3 SD langsung akrab dengan trio bujangan Adrin-Ibenzani-Soemarjadi sejak mereka hijrah ke Padang di tahun 1963 dan menempati mess UNAND yang kebetulan bersebelahan dengan rumah saya.
Minimnya sarana hiburan di awal 60 an (saat itu belum ada siaran TVRI di Padang) membuat saya rajin bercengkrama dengan ketiga oom ini di mess UNAND untuk mengisi kekosongan. Oom Soemarjadi yang berasal dari Nganjuk, Jawa Timur adalah yang paling sering saya dekati karena beliau punya koleksi klipping komik strip (potongan komik strip dari koran seperti harian Indonesia Raya dll). Disitulah saya, yang ketika menginjak kelas 4 SD mulai menyenangi komik strip Flash Gordon, Rip Kirby, Mandrake & Pangeran Lothar serta Put-On.
Tidak puas dengan komik, saya pun melahap buku cersil (cerita silat) koleksi oom Soemarjadi, “Bidadari Sungai Es” yang kalau tidak salah judul aslinya Peng Tjoan Thian Lie. Gaya bahasa cersil itu sebetulnya sulit untuk dipahami oleh anak-anak, beda dengan cersil karya Kho Ping Hoo yang enak dibaca. Tetapi oom Soemarjadi menceritakan betapa buku cerita silat memiliki nilai pengajaran tentang budi dan keadilan yang tidak kalah dengan cerita wayang karya A. Kosasih yang sering saya baca dikala itu. Semasa SD itu hampir semua cerita wayang karya Kosasih sudah saya baca, dari Wayang Purwa, Arjuna Wiwaha, Bomantara hingga Mahabharata dan Ramayana.
Hobi membaca cersil ini semakin menjadi-jadi waktu saya masuk SMP dan mulai rajin meminjam cerita silat sewaan pada beberapa taman bacaan di kota Padang. Ini semua diawali oleh cersil “Bidadari Sungai Es” tersebut.

Oom Soemarjadi si perancang masjid Kampus Al Azhar Air Tawar Padang adalah guru informal saya di bidang menggambar dan prakarya. Ketika saya merasa kesulitan mengerjakan tugas-tugas prakarya di SMP yang menggunakan bahan tripleks, oom Soemarjadi jualah yang jadi dewa penolong. Kepiawaiannya sebagai lulusan Senirupa amat terasa ketika beliau dengan penuh kesabaran menuntun saya dalam menggunakan variasi jenis pinsil, memainkan jangka, menggergaji dan mengampelas tripleks hingga teknik mengoleskan sirlak (varnish). Alhasil, nilai pelajaran menggambar dan prakarya saya di rapor tidak pernah bergeming dari angka 8 dan 9.
Hubungan emosional saya dengan beliau terus berlanjut bahkan setelah saya beranjak dewasa dan berumah tangga. Maka ketika mendengar beliau bersama tante Sartje (isterinya) dan putra keduanya Ito meninggal karena kecelakaan di Muaro Bungo lebih dari 10 tahun yang lalu, saya betul-betul kehilangan seorang guru sekaligus sahabat. Hingga kini saya tidak akan pernah lupa dengan panggilan akrabnya untuk saya, “si buyung” yang selalu diucapkannya dengan senyum dan kasih sayang.

Ibenzani Oesman sebagai anggota tiga serangkai itu juga menorehkan kenangan tersendiri bagi saya. Ketika SMP saya sudah menggemari majalah musik Aktuil yang saat itu menjadi barometer musik anak muda Indonesia. Terobsesi oleh group musik yang sering ditayangkan Aktuil, saya rasanya ingin sekali pintar bermain gitar seperti Eric Clapton atau Jimmy Hendrix. Sekarang saya bisa tertawa geli kalau mengenang hal ini. Waktu niat belajar gitar saya sampaikan ke ayahanda, beliau membelikan gitar bikinan lokal karena gitar buatan Solo cukup mahal. Waktu itu belum ada gitar Yamaha, adanya gitar Spanyol yang harga lebih selangit. Agak kecewa sih, tapi saya cukup maklum dengan keterbatasan orang tua. Kini persoalannya, mau belajar gitar sama siapa? Saya agak lupa bagaimana awalnya, tau-tau saya dapat kesempatan belajar gitar sama oom Ibenzani yang katanya pintar main gitar. Padahal setahu saya beliau mahir main piano dan juga pengarang lagu “Lintuah” yang terkenal itu. Singkat cerita, saya ada beberapa kali bolak-balik menenteng gitar ke rumah oom Ibenzani untuk belajar. Tapi, entah karena ngga berbakat atau saya sifat saya kurang sabaran dalam belajar, hasilnya nihil selain hanya sedikit paham mengenai grip nada dasar musik. Akhirnya saya ngambek dan berhenti belajar gitar.

Ketidak sabaran yang berujung kepada kegagalan juga saya alami di bidang olah raga beladiri.
Seperti diceritakan diatas, membaca cersil telah membuat saya berangan-angan jadi jago silat. Ada masa ketika saya rajin mencatat jurus-jurus pukulan atau gerakan silat di cersil Kho Ping Hoo lengkap dengan istilah Cinanya. Ketika saya mendengar bahwa mamanda Adrin punya kemampuan pencak silat, saya pun minta berguru dengan beliau. Awalnya hanya ditertawakan karena saya dianggap masih kecil, tetapi karena saya mendesak beliau pun mengalah tapi dengan syarat harus belajar dirumahnya. Ketika itu beliau sudah berkeluarga dan bertempat tinggal di bagian Utara dari kompleks perumahan UNAND yang jaraknya kurang dari setengah kilo dari rumah saya.
Persyaratan itu belakangan saya rasakan agak berat, karena waktu belajar silat adalah di malam hari. Soalnya untuk pulang ke rumah setelah jam 10 malam saya harus berjalan kaki melewati lapangan yang ada kuburan ditengahnya. Saya tidak pernah tahu itu kuburan siapa, tapi yang jelas selalu merinding setiap melewatinya walau sudah menutupi kepala dengan kain sarung. Karena alasan ini ditambah dengan lambatnya kemajuan yang saya peroleh, membuat saya mencari dalih untuk berhenti saja belajar silat. Soalnya gengsi juga kalau menjadikan rasa takut akan kuburan sebagai alasan, bisa jadi bahan tertawaan nantinya. Sekali lagi saya tidak memperoleh hasil apa-apa hanya akibat ketidak sabaran.
Foto kenangan dengan alm. Adrin Kahar di tahun 2006.
Foto di tahun 2008 ketika Adrin Kahar menjenguk sang adik, Amrin Kahar yang tengah dirawat di RS Abdi Waluyo.
Kini para inspirator itu yang telah mewarnai kehidupan saya sejak kecil hingga dewasa, semuanya telah tiada dan meninggalkan kenangan yang indah.
Tiga serangkai Adrin-Ibenzani-Soemarjadi di mata saya sungguh merupakan trio yang kompak dan sehati dan telah memberikan darma baktinya yang tulus untuk Sumatera Barat hingga akhir hayatnya. Tempat peristirahatan terakhir mereka pun sama, yaitu TPU Tunggul Hitam Padang.
Semoga jasa-jasa mereka di bidang pendidikan dan sosial bagi masyarakat Sumatera Barat memperoleh imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Jogjakarta, 6 Desember 2009.

No comments:

Post a Comment