Friday, March 2, 2012

Antara Candabirawa dan Korupsi



Pagi ini saya membuka kembali koleksi buku-buku lama untuk mencari inspirasi, suatu kegiatan yang selalu saya lakukan untuk menghilangkan kejenuhan dan rutinitas. Tidak sengaja terambil lagi cerita wayang Mahabharata yang tidak pernah bosan kalau dibaca.

Ketika membolak-balik cerita legendaris tersebut, saya tertarik membaca kembalii kisah pertempuran Pandu Dewanata dengan Narasoma yang terkenal dengan aji Candabirawanya. Berbeda dengan ajian yang biasa, si pemilik aji Candabirawa mampu  menciptakan raksasa yang bisa diperintah untuk menyerang musuhnya. Lebih unik lagi, raksasa itu kalau dilukai, setiap tetesan darahnya akan menjelma menjadi raksasa yang sama. Akibatnya tentu saja pihak lawan akan makin kerepotan menghadapi raksasa yang jumlahnya semakin banyak.
Bekerjanya aji Candabirawa ini boleh dibilang mirip dengan cara berkembangnya amuba, organisme bersel tunggal yang memecah dirinya untuk berkembang biak.

Dalam kisah diatas, Pandu yang tengah kelabakan dalam menghadapi jumlah raksasa yang semakin banyak, mendapat bisikan dari penasehatnya Semar (pada hikayat lain, ada yang menyebut Petruk sebagai pemberi nasehatnya).
Konon nasihat yang diberikan itu kira-kira begini intisarinya:
Candabirawa itu dapat dibilang sebagai intisari dari watak bangsa manusia.
Untuk melawannya kita harus tenang, tidak emosional dan .... jangan melawannya secara frontal.
Yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya adalah KEHENDAK.
Manusia punya kehendak, cita-cita ataupun ambisi sedangkan makluk lain tidak memilikinya, sementara kehendak manusia seolah tidak ada habisnya, tidak terbatas. Disitu kuncinya untuk menghadapi Candabirawa.

Sebuah resensi yang membahas fenomena candabirawa ini memberikan ulasan bahwa "kehendak" dipicu oleh indera yang dimiliki manusia. Misalnya, mata melihat sehingga muncullah keinginan. Telinga mendengar, maka muncullah kehendak. Bahkan dalam diam sekalipun, manusia seringkali masih juga digoda oleh angan-angan.

Lalu bagaimana caranya untuk menghentikan kehendak? Mudah saja, tutuplah semua indera yang ada. Boleh mendengar tapi jangan disimak, boleh melihat tapi jangan diperhatikan, boleh terlintas namun jangan dipikirkan.

Setelah mengikuti nasehat Semar, dalam menghadapi serbuan raksasa candabirawa, Pandu mengambil sikap diam dan memusatkan perhatian kepada Penguasa Alam, tidak memikirkan apapun yg ada disekitarnya. Reaksinya?
Dalam beberapa saat jumlah raksasa yang tadinya begitu banyak terlihat mulai berkurang dan akhirnya tinggal satu wujud manusia saja, yaitu Narasoma si pemilik aji Candabirawa.
Dengan cara itulah akhirnya Pandu dapat mengalahkan Narasoma yang belakangan dikenal dengan nama Prabu Salya.

Setelah membaca kisah diatas, saya jadi berangan-angan. Andaikan anak bangsa Indonesia khususnya Presiden SBY dan aparatnya bisa mengikuti jejak Pandu Dewanata dalam menguasai dan mengontrol kehendak, mungkin jumlah korupsi di republik ini banyak berkurang. Bukankah pola merajalelanya korupsi itu (yang identik dengan cara berkembang biaknya raksasa candabirawa) disebabkan oleh kehendak (nafsu) yang tergoda oleh perilaku hedonisme dan konsumtif? Tapi, apakah itu sebuah harapan yang realistis dalam kehidupan yang sangat materialistis dewasa ini?

Saya tidak berani beranjak lebih jauh, soalnya mendadak teringat kembali bahwa angan-angan ini pun menunjukkan bahwa saya masih tergoda oleh "kehendak". Ternyata dalam menghadapi serbuan "Candabirawa modern" yang berwujud korupsi itu bukan soal yang gampang, malah mungkin teramat sulit.
Namun kalau sekedar berharap, boleh-boleh saja tokh? Siapa tahu Tuhan berkenan menurunkan "Pandu Dewanata" semisal mitos Satria Piningit untuk menggantikan pemerintahan sekarang yang bergeraknya ibarat binatang kecil undur-undur.

Ciputat, 2 Maret 2012.

No comments:

Post a Comment