Tuesday, November 1, 2011

Obrolan Warung Kopi: Pilih PNS atau Pegawai Swasta?

Ketika bincang-bincang dengan pengelola sebuah universitas swasta terkemuka, saya diminta untuk memberikan komentar tentang fakultas teknologi informasinya.  Dalam memberikan komentar, sekilas saya sampaikan bahwa dosen muda yang jadi Wakil Dekan kelihatannya potensial untuk dikembangkan.
Namun jawaban yang keluar dari mulut beliau sungguh mengejutkan: “ya betul, tetapi tadi pagi dia baru saja menyampaikan surat pengunduran diri. Dia diterima sebagai PNS (pegawai negeri sipil).”
Saya cuma bisa termangu mendengarnya sambil membatin, “rupanya menjadi pegawai negeri sipil masih lebih menarik ketimbang jabatan Wakil Dekan di universitas swasta.”

PRO KONTRA SOAL PEGAWAI NEGERI SIPIL ATAU SWASTA
Polemik soal berkarir sebagai PNS atau pegawasi swasta memang tidak akan pernah usai karena setiap orang memiliki preferensi menurut versinya masing-masing.
Beberapa kenalan yang saya tanyai dalam berbagai kesempatan, punya aneka jawaban yang menarik untuk disimak.
Penanya: “boleh tahu kenapa Anda memilih karir di jalur PNS?”
Resopnden 1: ‘Lebih terjamin masa tuanya.  Uang pensiun dan jaminan kesehatan (ASKES) akan terus diterima sampai kita meninggal.  Mana ada fasilitas seperti ini di swasta?”

Responden 2: “Ada tambahan lagi. Sebagai pegawai negeri status kepegawaian saya lebih terjamin dibandingkan swasta. Perusahaan swasta kan bisa saja bangkrut atau melakukan penciutan karyawan. Disamping itu sebagai PNS kans untuk dipecat sangat kecil. Buktinya ada di depan mata. Tuh isterinya Gayus di Pemda DKI cuma dipindahkan ke bagian lain, ngga dipecat.”

Responden 3: “di daerah saya, penghargaan masyarakat terhadap pegawai negeri akan lebih tinggi daripada mereka yang jadi karyawan swasta. Statusnya terlihat lebih terhormat.”

Responden 4: “Para orang tua di Aceh sejak dulu menganggap bahwa anak-anaknya belum berhasil  kalau belum menjadi pegawai negeri.”

Responden 5: “Tadinya saya mau masuk swasta. Tapi sewaktu melihat situasi ekonomi yang tidak menentu dan adanya perbaikan remunerasi terhadap pegawai negeri khususnya di sektor pendidikan,  saya daftar ke Depdiknas dan lulus.”

Responden 6: “Saya sih cita—citanya mau melanjutkan sekolah lagi ke jenjang tertinggi. Dan jalur yang paling menjanjikan adalah jadi dosen di perguruan tinggi negeri. Awalnya melamar ke BPPT, tapi gagal.”

Penanya: “apa yang memotivasi Anda memilih sektor swasta?”
Responden 7: Semasa kuliah ada opini umum di kalangan mahasiswa tentang dunia pekerjaan. Katanya kalau ingin pekerjaan yang santai dan terjamin sampai hari tua walau gajinya kecil, jadilah pegawai negeri. Kalau ingin mengembangkan diri dan tidak mau dikekang oleh birokrasi, pilihlah swasta. Dan saya pilih opsi yang kedua, karena saya ingin berkembang.”

Responden 8: “Saya ingin gaji yang lebih besar dengan cara yang halal. Makanya saya pilih swasta.”
Penanya: “Lho, emangnya jalur swasta dijamin halal? Atau pertanyaannya dibalik, apakah mereka yang memilih jalur non-swasta itu penghasilannya tidak halal?
Responden 8: “Waduh, maaf mas. Bukan begitu maksud saya. Maksud saya, umumnya gaji PNS kan lebih kecil. Takutnya iman saya jadi goyah dan terjerumus berbuat salah. Kan ada istilah bahwa FAKIR itu dekat dengan KAFIR jika tidak hati-hati."

PROBLEMA DUNIA SWASTA DEWASA INI
Ketika mewawancara sejumlah pelamar untuk lowongan IT di kantor minggu lalu, saya menemui sebuah kenyataan yang menarik untuk direnungkan.
Ternyata sebagian besar pelamar adalah karyawan perusahaan swasta yang masih aktif, dan ….. berstatus sebagai staf kontrak selama bertahun-tahun.
Sehingga sewaktu saya tanyakan, “apa yang membuat Anda tertarik untuk melamar kesini?” hampir semua menjawab “saya mau bekerja sebagai staf permanen, bukan kontrakan.” Hanya seorang yang memberikan jawaban bahwa ia mencari tantangan yang lebih besar.

STAF PERMANEN.  Itu kata kunci yang saya dapatkan yang implisit bermakna job security.
Hal ini sampai terbawa pulang dan membuat saya kepikiran, berapa banyak pekerja professional yang merasa tidak nyaman dengan status kontrak ini.  Sebagai karyawan kontrak, individu tersebut tidak akan memperoleh fasilitas dan benefit seperti halnya karyawan tetap atau permanen. Khusus mengenai asuransi kesehatan, item yang satu ini seolah menjadi faktor penentu bagi calon karyawan yang melamar pekerjaan. Seperti contoh diatas, banyak orang memilih bekerja sebagai pegawai negeri karena jaminan kesehatan ASKES seumur hidup. Setelah pensiun mereka relatif merasa  aman jika menderita sakit, termasuk sakit kronis sekalipun. Soal gaji kecil tidak menjadi masalah, pasti ada jalan untuk mencari tambahan atau ngobyek.

Ditambah lagi dengan kenyataan betapa dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu belakangan ini, sebuah perusahaan besar bisa saja limbung dan bahkan tumbang, sehingga mem-PHK karyawannya. Job Security di sektor swasta semakin dipertanyakan. Ujung-ujungnya, begitu ada ujian masuk CPNS, peminatnya berjibun, tumpah ruah ibarat ujian masuk universitas negeri era SKALU tahun 70-80 an. Maka ketika ada isu bahwa untuk masuk PNS bisa dilakukan dengan imbalan uang seratusan juta rupiah, itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Tapi membuktikannya pasti sulit karena kelihaian pemainnya.

SOAL REJEKI, ITU HAK PREROGATIF TUHAN
Sebagai tambahan, saya pernah mendapat nasehat dari seorang teman senior agar di dalam pekerjaan harus selalu ingat bahwa semua rejeki itu datangnya dari Sang Maha Pemberi Rejeki, Allah. Artinya jangan sampai kita mempersekutukan-Nya dalam situasi apapun. Terlalu mengidolakan atasan sehingga bersedia melakukan pekerjaan salah yang diperintahkannya, bisa dianggap mempersekutukan Tuhan.
Cukup sering saya mendengar keluhan teman-teman sekerja yang melakukan tindakan "salah" atas perintah atasan, tetapi tetap dikerjakannya dengan alasan dia harus menafkahi keluarganya. Seolah-olah tidak ada pilihan lain untuk berkarya selain ditempat tersebut. Kasus seperti amat banyak terjadi.

Beberapa tahun yang lalu harga diri saya begitu terusik dan meradang karena dimaki atasan saya (bukan orang Indonesia) dalam suatu tele-conference yang diikuti para manager Asia Pacific. Ketika itu saya diminta mem-PHK sekitar 30 orang staf dengan alasan efisiensi. Saya bantah karena menurut pandangan saya tenaga mereka masih dibutuhkan (saya sebetulnya didukung oleh top management lokal). Penolakan ini rupanya membuat boss saya emosi, sehingga keluarlah kata-kata: "Aswil, I pay your salary. I pay your bonuses. If you dont' do what I say, I'll send somebody to replace you. I really mean it. Do you understand?"
Waktu itu saya juga emosi, tapi karena yang ngomong adalah atasan, saya akhirnya diam dan mengalah.
Pulang kantor ucapan tersebut terngiang-ngiang terus di kepala dan dada rasanya mau pecah. Untunglah masih ingat istighfar, dan malam harinya memohon kepadaNya melalui tahajud.
Believe it or not. Tidak sampai satu bulan sejak peristiwa tersebut, saya dapat tawaran pekerjaan yang lebih sesuai dengan nurani. Sehingga ketika menyampaikan surat pengunduran diri, saya begitu menikmati momen dimana boss saya yang biasanya begitu garang dan otoriter, mendadak membujuk saya dengan lemah lembut: "what can I do for you, Aswil?"  Ha ha ... it's too late, boss. It's been decided that I want to leave this company.

Kejadian yang menimpa saya pasti juga dialami oleh banyak orang. Tetapi saya amat kagum dengan keyakinan (iman) yang dipunyai salah seorang teman kerja saya, Badai. Hal ini saya ungkapkan sebagai bentuk penghargaan saya kepada Badai akan keyakinannya bahwa rejeki itu datangnya dari Allah.
Suatu pagi Badai mampir ke meja saya yang menceritakan bahwa dia baru saja menyerahkan surat resign ke HRD. Saya kaget. Soalnya Badai termasuk satu diantara sales person yang dikenal cukup sukses.
Saya tanya, kenapa mau keluar? Badai menjawab, "pekerjaan saya sudah tidak sesuai dengan nurani saya, mas". Initinya Badai diminta untuk memberikan laporan sales yang tidak benar ke regional management. Ada sales yang sedang berjalan (belum pasti), tetapi karena sudah mendekati closing (triwulan), dia diminta untuk melaporkan ke atas bahwa sales tersebut sudah terjadi. Ini jelas sebuah kebohongan, walau fenomena ini sudah jamak terjadi di dunia marketing.
Karena nuraninya menolak, Badai memutuskan untuk keluar diri dari perusahaan.
Pertanyaan saya berikutnya, "terus loe mau pindah kemana? Udah diterima dimana?"
Jawaban Badai mengejutkan saya, "saya belum tahu mas. Saya mau keluar dulu, nanti baru saya pikirkan."
Nekad nih orang, pikir saya sambil nanya lagi, "loe ngga kawatir nanti butuh waktu lama buat cari kerja, keluarga bagaimana?" Saya tahu bahwa dia sudah berkeluarga dengan satu anak, masih kecil.
Kali ini jawabannya membuat saya terdiam malu, "Saya percaya sama Allah, mas. Rejeki ditangan Dia. Jadi saya ngga kawatir."

Sore harinya, sebelum pulang kantor, ketika berpapasan kembali dengan Badai dia menyampaikan bahwa berita pengunduran dirinya sudah tersebar di kalangan teman-teman lain.
Dan, ini yang menarik. Seharian itu Badai sudah menerima tawaran kerja dari 3 orang teman, mengajaknya untuk bergabung. Dia belum memutuskan mau pilih siapa, hanya berterima kasih kepada tawaran teman-temannya.
Sungguh Allah Besar dan Maha Mendengar.

Terakhir saya lihat teman saya Badai memilih untuk membuka usaha sendiri dan survive hingga saat ini.
Kasus ini sungguh merupakan bukti nyata bahwa kalau kita berjalan diatas rel-Nya, insya Allah Dia akan memberikan jalan yang terbaik buat kita. Amin.

Ciputat, 18 Februari 2011

No comments:

Post a Comment