
Setahun yang lalu, persisnya 7 Januari 2010 saya menulis note singkat di FB tentang Code of Conduct bagi Intelektual yang intinya agar mereka
- tidak boleh berbohong dan
- tidak boleh emosional dalam menyampaikan pendapat.
Kini, setelah setahun berjalan, masyarakat kembali disuguhi sinetron baru dengan tema sama, yaitu KEBOHONGAN. Wajar kalau seantero republik jadi heboh, karena yang dituding sebagai pemeran utama adalah RI-1. Pihak istana pun bereaksi dan angkat bicara. Tapi stigma negatif itu sudah terlanjur menyebar di kalangan masyarakat karena sejumlah tokoh lintas agama turut meramaikan panggung. Seperti biasa, pro kontra pun terjadi. Sayangnya diantara tokoh agama yang menuding RI-1 berbohong itu ada figur yang tidak 100% dipercaya netralitas dan motivasinya. Maka jadilah situasi saling tidak percaya.
Andaikan keseluruhan tokoh agama yang mengumumkan sejumlah kebohongan RI-1 merupakan figur bersih ibarat petapa sakti dan suci yang turun gunung untuk memberantas kejahatan, reaksi masyarakat pasti akan beda. Tapi kini situasinya jadi salah kaprah karena tokoh agama itu kini dituding sudah masuk ke ranah politik dan punya motif politik.
Situasi ini membuat saya jadi teringat akan ucapan seorang dosen yang bertanya kepada mahasiswanya, apa yang membedakan antara Politisi, Peneliti, dan Dosen/Ulama. Pertanyaan itu dijawabnya sendiri seperti dibawah ini:
- Politisi boleh melakukan kesalahan dan boleh berbohong
- Peneliti boleh berbuat salah, tetapi tidak boleh bohong
- Dosen/Ulama tidak boleh salah dan tidak boleh bohong.
Konon ada aturan main tambahan bagi mereka yang berbohong, yaitu "harus konsisten dengan kebohongannya". Artinya, sekali bohong dalam suatu hal, harus berbohong terus hingga akhir. Ibaratnya seseorang yang mengaku naik kereta api ke Bandung, kalau bercerita jangan menyebut bahwa dia singgah makan di restoran Puncak. Jadi untuk urusan kecil dan sepele pun harus dibuat klop dengan cerita bohongnya. Dan inilah yang sulit karena kebohongan manusia biasanya terbongkar dari hal-hal yang remeh-temeh.
Kalau Peneliti kondisinya berbeda. Ia bisa saja berbuat salah dalam melakukan eksperimen atau hipotesa. Tapi peneliti harus jujur dalam menyampaikan hasil penelitiannya, jangan berbohong atau menyembunyikan hasilnya walaupun salah. Kalau peneliti tidak jujur, akibatnya bisa fatal seperti kasus Blue Energy tempo hari yang ujung-ujungnya mempermalukan RI-1 lagi.
Tapi yang paling berat adalah profesi dosen atau ulama. Seorang dosen tidak diperbolehkan memberikan materi yang salah. Ulama juga jangan mengajarkan hal yang salah kepada umatnya. Kalau berbuat salah saja sudah dilarang bagi dosen atau ulama, apalagi berbohong karena akan berdampak fatal terhadap pemahaman yang salah dari anak didik atau umatnya.
Sekarang bagaimana kalau ada seorang ulama (tokoh agama) yang masuk dan berkecimpung di ranah politik seperti DPR? Itulah sumber kekacauan karena ulama tersebut tidak mungkin lagi mempertahankan prinsip "tidak boleh salah dan tidak boleh bohong". Untuk hal ini juga banyak contoh nyata yang kita lihat di pentas politik. Cukup banyak tokoh agama kondang dan dihormati pengikutnya yang sikap serta ucapannya berbalik 180 derajat setelah masuk ke ranah politik. Sungguh memprihatinkan.
Kembali ke politisi, Presiden tentunya masuk kedalam kategori ini. Jadi kalau belakangan ini banyak pihak yang menuding Presiden berbohong, tentu kita tidak perlu terkaget-kaget. Ada kalanya seorang Presiden tidak bisa berkata jujur tentang suatu kejadian karena beberapa pertimbangan, misalnya demi keamanan atau rahasia negara. Tapi Presiden juga tidak bisa seenaknya bicara. Mungkin masih ada yang ingat dengan kontroversi pidato SBY pasca bom Marriot-Ritz Carlton di Kuningan. Beberapa jam setelah ledakan bom, SBY berpidato tanpa teks dan ditayangkan secara langsung oleh sejumlah stasiun televisi. Satu demi satu pernyataan SBY mengalir, disamping berisi ungkapan duka, juga menyentil para elit politik.
Ini kutipan berita tersebut yang diambil dari INILAH.COM:
"Ini intelijen, bukan rumor, bukan isu, bukan gosip. Ada pernyataan, kita bikin Indonesia seperti Iran. Dan yang terakhir ada pernyataan, bagaimanapun juga SBY tidak boleh dan tidak bisa dilantik. Saudara bisa menafsirkan apa arti ancaman seperti itu," urai SBY.
Walhasil, pidato SBY pun menuai sorotan dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, aktivis, hingga akademisi. Pernyataan SBY sebagai kepala negara disesalkan karena justru membuat panik bahkan bernada menuduh lawan politik.
Pertama, ia menyebutkan bahwa ada orang-orang yang pada masa lalu melakukan kejahatan dan belum dihukum. Kedua, ia menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan drakula-drakula itu menebar maut.
Siapakah yang dimaksud presiden? Tentu saja ini adalah pernyataan keras, dan publik merasa pokok itu ditujukan pada salah satu pihak calon presiden. Presiden memang terus terang mengindikasikan juga hubungan antara teror bom dengan situasi ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pilpres. Ia bahkan menghubungkannya dengan usaha untuk menggagalkan pelantikannya kelak sebagai presiden.
Itulah sebabnya pihak Megawati-Prabowo secara tegas meminta agar Presiden SBY tidak mempolitisir soal pemboman itu. Demikian juga Jusuf Kalla menganggap bahwa pengaitan bom dengan masalah politik pilpres adalah terlalu jauh.
Seperti kita ketahui bersama, urusan ini berakhir tanpa kejelasan, siapa yang sesungguhnya memutar balikkan berita. Dan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemaaf sekaligus pelupa, maka kita pun sudah melupakan hal-hal yang lalu. Sama halnya ketika beberapa kalangan ingin memberikan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto, kita pun lupa betapa banyak korban sia-sia di era orde baru, betapa peristiwa G-30S PKI masih menyisakan misteri, siapa sesungguhnya sang sutradara dan pemain utama.
Lalu soal berbohong, bukankah dari dulu pemerintah kita sudah biasa melakukannya? Misalnya saja, korban pembantaian Westerling yang disebut berjumlah 40.000 jiwa kini mulai diragukan kebenarannya. Begitu juga Taman Makam 1000 di Serpong diperkirakan hanya memuat sekitar 100 makam pejuang saja. Tampaknya anak bangsa ini sejak dulu sudah senang melakukan mark-up angka-angka, bukan hanya terjadi dalam tender pemerintah saja.
Karena itu mari kita kita sudahi saja obrolan ngalor-ngidul ini sebelum saya ikut terseret menulis hal-hal bohong disini.
Pamit mundur.
Ciputat, 19 Januari 2011.
No comments:
Post a Comment