Tuesday, November 1, 2011

A Trip Report: Visit to Spectacular BROMO


Indonesia sepatutnya berbangga. Gunung Bromo yang terletak di Probolinggo, Jawa Timur masuk tiga besar gunung terbaik di dunia bagi para pendaki. Gunung Bromo cuma kalah dari dua gunung lainnya, yakni Gunung Elbrus di Rusia dan Gunung Olympus di Yunani.Seperti dikutip detikcom dari situs www.lonelyplanet.com, Rabu (28/4/2010), Gunung Bromo bahkan mengungguli 7 gunung terkenal di dunia yang termasuk 10 besar gunung terbaik di dunia yang layak untuk didaki seperti Jebel Toubkal di Maroko, Gunung Matterhorn di Switzerland, Gunung Table di Afrika Selatan, Gunung Ben Nevis di Skotlandia, Gunung Sinai di Mesir, Gunung Fuji di Jepang, dan Gunung Half Dome di Amerika Serikat.
 
Pemandangan kawah gunung Bromo dilihat dari puncak gunung Penanjakan -2 Agustus 2010

Inilah salah satu alasan kenapa saya begitu berhasrat untuk mengunjungi kawasan eksotik ini. Hanya saja sejumlah kendala temasuk alasan pekerjaan belum memungkinkan niat ini terlaksana.Namun akhirnya momen itu pun akhirnya tiba, bertepatan dengan berakhirnya masa kerja saya pada hari Jum'at, 30 Juli 2010 (persisnya pensiun saya jatuh di tanggal lahir, Minggu 1 Agustus 2010). Usia 55 tahun perlu disambut dengan suasana yang berbeda, dan daerah wisata Bromo mungkin merupakan pilihan yang menarik bagi keluarga.

Maka sebulan sebelumnya saya mencoba menyusun rencana perjalanan untuk mengunjungi Bromo bersama Inet (isteri) dan Giri (putra kedua). Mengingat Inet dan Giri belum pernah berkunjung ke jawa Timur, saya memilih kota Malang dan Blitar sebagai obyek kunjungan awal sebelum menuju Bromo. Ada dua teman kantor yang membantu agar itenary yang disusun benar-benar realistis, mengingat saya masih awam dengan daerah Jawa Timur.

Hari-H pun tiba. Dengan mengucapkan 'bismillah' kami terbang ke Malang dengan pesawat Sriwijaya Air jam 7 pagi. Ketika check-in, saya sempat bersitegang dengan sang petugas karena tiket kami bertiga terkena time limit (alias statusnya tidak confirm). Saya jelas tidak mau terima, walau petugas Sriwijaya Air bilang bahwa hal ini kesalahan travel bureau kami. Persoalannya, kalau batal berangkat pagi itu, jadwal perjalanan yang sudah diatur rapih, bakal berantakan. Timing buat saya amatlah krusial. Ada sekitar 20 menit menunggu kepastian di counter check-in sebelum boarding pass kami di-rilis oleh petugas check-in.

 
Gunung Arjuno yang terlihat cukup jelas dari halaman rumah Fajar.

Singkat cerita, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Abdulrahman Saleh, Malang. Disana sudah menunggu kolega saya eks IBM, sdr. Fajar Asikin. Setelah beristirahat dan dijamu oleh Fajar dan isteri di rumahnya nan asri, kami pun memulai perjalanan menuju kota Blitar dengan menggunakan Panther yang sudah di booking untuk 3 hari. Cukup surprise juga melihat kenyataan bahwa lalu-lintas di kota-kota seperti Malang dan Blitar di hari Sabtu tidak luput dari kemacetan. Penyebabnya antara lain adalah banyaknya sepeda motor yang berseliweran di jalan.
Sorenya kami kembali ke Malang dan menginap di hotel Tugu Malang. Saya sengaja memilih hotel ini karena nuansa eksotiknya walau harus membayar sedikit lebih. Sekitar jam 8 malam kami menikmati ayam goreng Pemuda (yang katanya tidak buka cabang dimana-mana) bersama adik kelas SMP saya, dr. Tjoky Panggabean. Acara dinner ini juga sudah diatur sebelumnya, karena sebagai dokter, Tjoky yang bertugas di RSUD Pare, Kediri harus khusus datang ke Malang.
Saya sudah hampir 40 tahun tidak ketemu Tjoky, jadi pertemuan ini sungguh mengesankan apalagi disertai keluarga masing-masing. Kami keasyikan mengobrol sambil menikmati gurihnya ayam goreng hingga tahu-tahu semua meja lainnya sudah kosong. Artinya, kami harus segera angkat kaki dari sana.

Esok paginya dengan kondisi agak mengantuk kami meneruskan perjalanan menuju Bromo dengan singgah dulu ke candi Singosari dan kota Pasuruan. Kasihan juga memaksa Inet dan Giri untuk buru-buru berbenah, tetapi soalnya jadwal perjalanan kami cukup ketat.Di Singosari praktis kami tidak melihat sesuatu yang berarti, bahkan Inet berkomentar spontan bahwa dua arca besar yang bercokol di kiri kanan jalan sepertinya bukan arca asli lagi. Saya hanya bisa diam karena memang tidak punya kompetensi dalam hal ini.
Bagi saya mengunjungi candi Singosari hanya untuk membuktikan sejumlah artikel yang menyatakan bahwa bangunan candi Singosari yang tersisa nyaris berupa puing-puing tak berharga, sementara banyak arcanya yang telah diboyong ke negeri Belanda. Dari Singosari kami melanjutkan perjalanan ke kota Pasuruan. Target saya adalah menunaikan shalat dhuhur di masjid agung Pasuruan yang di dalam kompleknya terdapat makam seorang wali Allah, yaitu Kiai Hamid. Sayang sekali saya tidak bisa terlalu mendekati makam karena dipadati oleh peziarah yang tengah melantunkan doa shalawat bersama.

Perjalanan pun diteruskan menuju arah kota Probolinggo. Kita mampir makan siang di restoran Rawon Nguling yang memajang baliho foto Presiden SBY ketika berkunjung ke restoran tersebut. Menurut saya, masakan rawon disini memang lebih nikmat dibandingkan masakan rawon yang pernah saya cicipi selama ini.
Setelah melalui perjalanan yang agak berliku dan menanjak, sekitar jam 4 sore kami tiba di Cafe Lava Hostel yang telah saya booking satu bulan sebelumnya. Lokasinya berada di Cemoro Lawang yang umum dilalui para pendaki gunung Bromo.
Kami disambut ramah oleh staf hostel dan diminta menyelesaikan pembayaran dimuka, termasuk biaya sewa jeep untuk menuju puncak Penanjakan dan kawah Bromo. Setelah selesai memasukkan barang-barang ke kamar, kami berkendaraan menuju Lava View Lodge Hotel yang disebut-sebut memiliki pemandangan indah kearah lautan pasir.

 
Pemandangan Lautan pasir Bromo yang terlihat dari depan Lava View Lodge Hotel.

Karena lokasinya berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, setiap pengunjung domestik dikenai biaya Rp 6000 per orang. Sementara warga asing dikenai biaya Rp 25.000/orang. Ternyata apa yang ditulis oleh literatur memang benar. Pemandangan kearah lautan pasir Bromo memang mengagumkan dan suhu udaranya sungguh sejuk. Pantas saja Lava View Lodge selalu fully booked. Santap malam kami lakukan secara cepat di restoran Cafe Lava karena ingin buru-buru istirahat. Soalnya jam 3:30 akan dibangunkan oleh staf hotel untuk diberangkatkan ke puncak Penanjakan jam 4 pagi. Padahal saya ingin melewatkan malam hari di tempat terbuka karena langit terlihat penuh dengan bintang dan tidak ada awan sama sekali. Giri sempat berkomentar bahwa dia tidak pernah melihat langit di malam hari yang bebas awan dan penuh dengan bintang-bintang. Sungguh ciptaan Allah yang mengagumkan.

 
Siap-siap menuju puncak Penanjakan dan Bromo.

Saya terbangun ketika petugas hostel mengetuk-ngetuk pintu kamar menjelang jam setengah empat pagi.
Dalam kondisi masih ngantuk, lelah dan dingin yang menusuk tulang, kami segera mengenakan pakaian berlapis yang sudah disiapkan dari Jakarta. Perangkat ini termasuk mantel tebal, topi kupluk, sarung tangan, kaos kaki dan scarf (syal). Ya, ini juga yang membuat koper-koper kami nyaris overweight di bandara. Persis jam 4 pagi kami bertiga berjalan menuju jalan raya dan disana jeep hardtop kami sudah stand-by.Kamera pocket Canon S90 yang menjadi andalan untuk dokumentasi perjalanan tidak mungkin saya lupakan dan baterainya sudah terisi penuh.Ternyata jalan raya dini hari itu sudah ramai dan hingar bingar dengan suara mobil jeep hard top yang bergerak menuju kawasan Taman Nasional Bromo. Kami tanpa sadar terbawa oleh suasana perjalanan yang terasa exciting dan heroik. Betapa tidak, sejauh mata memandang baik ke depan maupun ke belakang yang terlihat adalah iring-iringan puluhan bahkan mungkin seratusan jeep Toyota hardtop dengan ban radial mendaki jalan sempit, berliku dan tidak mulus. Tujuan pertama adalah puncak gunung Penanjakan yang merupakan gunung tertinggi di kawasan itu. Ada sekitar 30 menit lebih perjalanan menuju puncak Penanjakan hingga driver kami menemukan ruang parkir di tepi jalanan yang sempit, sekitar 300 meter dari gerbang masuk puncak Penanjakan.

Begitu turun mobil, tukang ojek motor berebutan dengan orang-orang yang menawarkan penyewaan jaket, topi kupluk dan syal. Begitu heboh. Saya sempat berdebat dengan Inet yang ngotot mau naik ojek karena merasa ngga kuat untuk berjalan mendaki yang lumayan kemiringannya. Akhirnya saya mengalah sehingga kita pun naik ojek dengan bayaran Rp 10 ribu per ojek, kecuali Giri yang memilih berjalan kaki keatas. Ojek berjuang menerobos kepadatan pendaki lainnya, dan .... guess what? Tidak sampai 5 menit, kami sudah sampai di anak tangga menuju puncak Penanjakan. Lha, kalau tahu begini mending jalan kaki aja. Tak lama kemudian Giri sudah bergabung dengan kami. Di kanan kiri jalan menuju puncak banyak warung yang menawarkan mulai dari kopi hangat, jagung bakar, souvenir hingga penyewaan pakaian tebal. Pokoknya suasananya heboh, tak obahnya seperti los pasar Tanah abang. Bedanya, mayoritas pengunjungnya turis asing berkulit putih. Oh ya, keramaian disini lebih mirip dengan kios-kios di Phuket, Thailand di malam hari.

 
                              
     pemandangan kearah Selatan, terlihat kawah gunung Bromo. 

Akhirnya ...... kami pun mencapai puncak gunung Penanjakan, berdesakan dengan pengunjung lainnya untuk menyaksikan terbitnya matahari dari balik pegunungan. Subhanallah, sungguh merupakan pemandangan yang teramat indah. Sesaat saya speechless, lalu teringat penggalan ayat Ali Imran 191: Rabbana ma khalaqta haza bathila.. subhanaka faqina azabannar..~ Tuhanku,tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia2, Maha suci Engkau..maka peliharalah aku dari azab api neraka... Dalam kerumunan yang dinominasi oleh turis asing, kuping saya mendengar logat bahasa yang beraneka ragam. Sekilas saya bisa membedakan antara bahasa Perancis, Belanda dan Jerman, disamping bahasa yang asing sama sekali buat saya. Saya sempat menyapa satu turis yang ternyata jauh-jauh datang dari St. Petersburg, Rusia hanya untuk Bromo dan melihat Komodo. Waktu saya tanya komennya, sambil geleng-geleng kepala dia berkomentar dalam bahasa Inggris yang patah-patah, "this view makes me crazy". Waduh, saya merasa malu sambil membatin ke diri sendiri, 'kemana aja loe selama ini'. Orang asing saja begitu menghargai keindahan alam kita, sementara saya baru berkesempatan kesini di usia senja, 55 tahun.

Perjalanan diperkirakan sekitar 30 menit, melalui lautan pasir yang cukup luas untuk menuju tempat perhentian kendaraan dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki atau menaiki kuda.Dengan alasan kendala fisik, kami memilih untuk naik kuda saja dengan bayaran resmi, Rp 100 ribu per kuda untuk pulang pergi.Dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di tangga menuju kawah Bromo. Kuda yang dinaiki berjalan dengan pelan karena dituntun pemiliknya. Jalan yang dilalui agak mendaki dan bergelombang. Jalan mendaki dengan bukit pasir bisa menyulitkan bagi yang tidak terbiasa menunggang kuda. Saya sebetulnya agak mengkawatirkan Inet, tapi semangatnya untuk dapat sampai ke kawah Bromo ternyata mengatasi kendala ini dan terlihat begitu menikmati perjalanan mengarungi lautan pasir yang terbentang mengelilingi gunung Bromo dan gunung Batok yang sangat unik dan cantik.Setelah turun dari kuda, kami baru menyadari betapa tingginya tangga yang harus didaki yang katanya berjumlah 253 anak tangga menuju puncak Bromo. Keraguan Inet muncul lagi dan mengatakan bahwa dia merasa tidak sanggup naik keatas, biar menunggu saja dibawah. Saya hampir mengiyakan, tapi akhirnya berhasil meyakinkannya bahwa kita bisa naik perlahan-lahan dan berhenti dulu jika lelah.


 
Menaiki tangga perlahan sambil terengah-engah. Inilah resikonya kalau kurang olahraga.

 
Giri terlihat lelah dalam perjalanan, namun tetap exciting.

 
Pemandangan setelah turun dari kuda dibawah anak tangga menuju puncak.

 
Lelah tetapi puas. Itulah yang tergambar dari ekspresi wajah diatas puncak Bromo
dengan latar belakang gunung Batok.

Akhirnya kesabaran dan perjuangan itu membuahkan hasil. Kami berhasil mencapai puncak gunung Bromo. Alhamdulillah. Diatas sudah banyak pengunjung yang berdesakan berdiri di pagar puncak gunung melihat kebawah, kearah kawah Bromo yang mengeluarkan asap belerang tipis. Pemandangannya yang mirip dengan fenomena alam gunung tangkuban perahu, yaitu kawah yang menghasilkan asap karena aktifitas gunung berapi. Hanya bedanya kawah Bromo lebih sempit dan terfokus di satu titik, tidak seperti tangkuban perahu. Di puncak gunung Bromo ini lukisan alam begitu menakjubkan kami saksikan. Pura terlihat kecil dan persegi panjang. Di sebelah gunung Bromo, gunung Batok berdiri dengan gagahnya. Suhu yang dingin membuat betah berlama-lama menyaksikan pemandangan yang luar biasa ini. Suhu Bromo tidak sedingin di puncak gunung Penanjakan, hanya terasa dingin sejuk.Tapi akhirnya kami tokh harus mengakhiri pemandangan ini karena kuda dan jeep hardtop sudah menanti. Menjelang jam 8 pagi kami menuruni anak tangga menuju tempat kuda-kuda menunggu.

 
Kawah Bromo dilihat atas. Bau belerangnya cukup menyengat.

 
 
Dalam perjalanan kembali dari puncak Bromo, berhenti sejenak di depan pura.

 
Naluri ibu-ibu, sebelum meninggalkan lokasi masih tergoda sama penjaja kaos Bromo.

Perjalanan kembali mengarungi lautan pasir kali ini dilalui dengan santai, penuh rasa puas.  
Now I have been to Bromo. So what next? 

Ciputat, 5 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment