Tuesday, November 1, 2011

Mengenang Masa Kecil: dari komik strip hingga majalah Aktuil


PULANG KAMPUNG, SEBUAH KEPUTUSAN YANG BERANI
Minggu, 4 November 1962, kapal Koan Maru dari Tandjung Priok merapat dan sandar di pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Itulah awal kedatangan saya, orang tua dan 3 adik-adik di Sumbar yang merupakan episode kedua dari masa kecil saya hingga menamatkan bangku SMA di Padang pada tahun 1973.
Keputusan papa, Nazir St. Mudo untuk melepas jabatannya sebagai dosen Kimia Anorganik di FKUI dan menerima tawaran dr. A. Roesma (Rektor UNAND) untuk kembali ke kampung halaman membantu Fakultas Kedokteran UNAND jelas tidak bisa dipahami oleh seorang bocah di usia 7 tahun seperti saya.
 Perubahan bisa mengusik kenyamanan, termasuk saya yang semula tinggal di jl. Jambu no 6 Pav, Jakarta Pusat. Apalagi ketika menghadapi kenyataan bahwa rumah yang dijanjikan di Padang masih dalam tahap penyelesaian pembangunan, sehingga almarhum nambo (kakek), Kaharuddin Dt. Rky Basa (Gubernur Sumbar di masa itu) mengijinkan kami menumpang sementara di pavilliun Gubernuran, jalan Jend. Sudirman. Tapi belakangan nambo merasa kawatir menginapnya kami di Gubernuran bisa menjadi gunjingan orang. Maka 10 hari kemudian papa memutuskan untuk segera memasuki rumah di Air Tawar walaupun belum sepenuhnya selesai.

Foto kenangan bersama alm. mamanda Adrin Kahar di depan rumah, jl. Jambu no. 6 Pav Jakpus sekitar pertengahan 1962.
Begitulah cerita kepindahan keluarga saya, yang hijrah dari kawasan Menteng Jakarta ke pinggiran kota Padang, kompleks perumahan dosen di Air Tawar. Kami termasuk generasi kedua dari penghuni kompleks Air Tawar yang jika hujan jalan masuk ke perumahan akan digenangi lumpur, sehingga hanya bisa dilewati oleh mobil sejenis landrover dengan mengaktifkan double gardan-nya agar tidak terperosok.

Mau tidak mau, saya yang baru duduk di kelas 2 SD harus beradaptasi dengan lingkungan. Papa mengajarkan cara menghidupkan lampu petromaks; tidur dengan lampu minyak yang jika lengah di pagi hari hidung akan berlepotan arang; menimba air dari sumur dan membuat arang dari batok kelapa untuk setrikaan. Itu menjadi pekerjaan rutin saya selama beberapa bulan sebelum listrik akhirnya nyala. Culture shock yang dialami bukan hanya itu. Saya harus belajar naik oplet (kendaraan umum) untuk ke sekolah. Langkanya kendaraan umum ketika itu tidak jarang mengharuskan saya ikut berebutan dengan orang dewasa naik oplet untuk pulang ke rumah.
Di sekolah saya juga menghadapi kesulitan karena bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa Minang. Rasanya mau menangis ketika dalam mata pelajaran kesenian, murid-murid diminta maju satu persatu untuk menyanyikan lagu berjudul “Mayang Taurai”. Jangankan menyanyikannya atau mengerti artinya, melafalkannya pun lidah ini masih kelu rasanya. Untungnya pak Sabirin, guru saya di kelas 2 SD Adabiah III bisa memahami kendala yang saya hadapi. Saya pun mengalami mestakung (alam semesta mendukung) sehingga dapat segera beradaptasi dengan lingkungan, apalagi juga dibimbing berbahasa Minang oleh kedua orang tua.

HOBI BACA KOMIK DI USIA DINI
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, saya belajar membaca komik ketika duduk di kelas 4 SD. Komik pertama yang saya baca adalah komik strip koleksi oom Soemarjadi, dosen Fakultas Sastra Seni yang tinggal di sebelah rumah. Ada komik humor Put-On, petualangan Flash Gordon, Mandrake & Pangeran Lothar serta Rip Kirby. Judul-judul ini sangat berkesan di diri saya, bahkan hingga kini.
Hobi membaca ini berlanjut ke komik wayangnya A. Kosasih, komik karya Taguan Hardjo dan belakangan komik silat lokal goresan Ganes TH, Djair, Jan Mintaraga dan Teguh Esha. Ketika sekolah mengharuskan murid membaca karya sastra pujangga baru, saya mulai terbiasa membaca buku cerita tanpa gambar. Novel seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Dibawah Naungan Ka’bah, Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Atheis, Sengsara Membawa Nikmat dll saya baca satu persatu.

Minimnya sarana hiburan di tahun 60 an membuat hobi baca saya berkelanjutan ke buku cerita lain. Tidak pilih bulu, yang penting buku cerita. Saya masih ingat buku saku cerita koboi yang saya gemari, serial John Eagle si Mata Elang 431. Lalu ada juga serial spionase modern (untuk saat itu, sebelum era James Bond), yaitu Barry Bronz agent 234. Kedua serial ini sebetulnya untuk konsumsi pembaca dewasa, bukan anak-anak karena alur ceritanya terkadang ada sedikit bumbu sex nya. Tapi itu juga yang menjadi pemicu kenapa saya suka membacanya sambil sembunyi-sembunyi. Berikutnya target saya adalah buku cerita petualangan Karl May, seri Winnetou dan Old Shatterhand.
Kembali ke komik, secara perlahan koleksi saya mulai banyak dan bertumpuk. Hal ini memberikan inspirasi bagi teman main saya, Nursyamsi yang menawarkan diri untuk menyewakan komik-komik saya bagi anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya di daerah Pondok, kampung Cina. Saya sangat mendukung rencana itu karena selain menolong teman, saya bakalan bisa baca komik gratis. Apalagi Nursyamsi berjanji untuk membelikan majalah Aktuil setiap terbitnya.

Beberapa buku cerita lawas seperti serial John Eagle dan spionase Barry Bronz yang saya peroleh dari seorang kolektor di Solo di tahun 2008.
MENGGEMARI LAGU BARAT, KERANJINGAN MAJALAH AKTUIL
Nursyamsi menepati janjinya. Setelah usaha penyewaan komiknya berjalan, saya dibelikan majalah Aktuil setiap kali terbit.
Oh ya, bagi generasi muda perlu saya ceritakan bahwa Aktuil adalah majalah musik dari Bandung yang terbit pertama kali di pertengahan tahun 1967. Saya sungguh kagum sama pemrakarsanya, Denny Sabri Gandanegara yang bersama-sama dengan Toto Rahardjo berhasil membuat Aktuil menjadi kiblat musik anak muda Indonesia di tahun 1970-1975. Konon asal kata Aktuil itu diambil dari nama majalah luar negeri Actueel, sebuah majalah musik terbitan Belanda. Prestasi luar biasa yang diraih Aktuil adalah ketika berhasil mendatangkan group band Deep Purple di tahun 1975. Di tahun 1976 pamor Aktuil mulai redup sebelum benar-benar menjadi almarhum di tahun 1986. Denny Sabri sendiri setelah berakhirnya riwayat Aktuil berkiprah sebagai Talent Scouter. Artis yang diorbitkannya antara lain Nike Ardilla, Nicky Astria, Meriam Bellina, Inka Christy dan Nafa Urbach. 
 
beberapa cover majalah Aktuil tempo doeloe.

Disamping Aktuil saya juga sering dikirimi majalah musik terbitan Belanda POPFOTO dan MUZIEK EXPRES oleh sepupu saya, Evita dari Jakarta. Kualitas cetak majalah luar negeri memang lebih bagus, plus adanya sisipan poster penyanyi atau pemain band yang lagi ngetop, membuat saya tergila-gila sama majalah musik. Belakangan Aktuil pun memuat poster artis-artis beken dalam setiap edisinya walau dengan kualitas sedikit lebih rendah. Poster dan foto group band musik pun memenuhi dinding kamar saya yang tidak terlalu luas.

Ironinya kecanduan saya terhadap majalah musik ini sama sekali tidak membuat saya pintar bermain musik atau menyanyi. Padahal ketika masih di bangku SD, saya rajin menonton band OKE (Orkes Kedokteran) yang terdiri dari mahasiswa Kedokteran berlatih musik di rumah saya. Personil band OKE seingat saya antara lain uda Wawa (Azwar Amir) dan uda Cap dengan trio penyanyi Piet (Asnita Rasyid), Joy dan Tut (Tuti Boestal) yang cukup populer di kota Padang pada masa tersebut.
Walau saya tidak bisa bermain musik atau menyanyi, tetapi kalau ditanya nama-nama artis pop atau rock luar negeri dan lagu-lagu yang menjadi top-hit, umumnya bisa saya jawab. Soalnya selain mengikuti berita di majalah Aktuil, saya rajin mendengarkan tangga-tangga lagu di radio BBC, VOA and ABC (Australia) setiap minggunya. Selain itu di Minggu pagi saya sering membantu papa untuk mencatatkan lirik lagu-lagu pop indonesia yang didiktekan oleh penyiar RRI Jakarta. Ketika itu radio swasta belum mewabah, sehingga RRI merupakan pilihan utama untuk mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia yang tengah populer. Ada sejumlah lirik lagu favorit yang pernah saya catat seperti Teluk Bayur (Ernie Djohan), Teringat Selalu (Tetty Kadi), Pria dan Wanita (Anna Mathovani).
Kini baru saya bertanya-tanya sendiri, untuk apa papa repot-repot mencatat lirik lagu pop Indonesia karena setahu saya beliau tidak bisa menyanyi. Tapi saya tahu persis bahwa beliau senang mendengarkan musik, sehingga tidak menolak ketika saya minta dibelikan piringan hitam lagu-lagu pop Barat.
Hobi mendengarkan lagu-lagu Barat populer ini menjadi semakin menarik karena saya punya sekondan, lawan diskusi, yaitu Erkadius (teman sekelas di SMP yang menamai dirinya Eric York) yang rasanya lebih gila musik dibandingkan saya. Tidak jarang kami memperbincangkan group musik Barat yang sedang populer seperti ketika muncul lagu hit baru yang liriknya terkesan futuristik, In the Year 2525 yang dinyanyikan duo Zager dan Evans.

Dari majalah Aktuil ini saya bisa mengikuti perjalanan musisi dan band lokal seperti AKA, Rollies, Koes Plus, Panbers, Mercy’s, Dara Puspita, Ida Royani, Vivi Sumanti, Diah Iskandar, Rahmat Kartolo, Lilis Suryani, Ernie Djohan, Tetty Kadi, Sylvia Saartje dan Emilia Contessa. Tetapi seingat saya Aktuil lebih banyak memuat berita tentang band luar negeri khususnya musik rock.
Saya mulai mengoleksi piringan hitam (single atau LP) sejumlah lagu-lagu Barat yang populer di tahun 1967-1973 , tentunya sebatas kemampuan kantong. Apalagi piringan hitam untuk lagu-lagu yang sedang ngetop adanya di toko musik di Jakarta.

Walaupun sudah 36 tahun berlalu, masih segar dalam ingatan piringan hitam (single dan LP) yang sempat saya miliki seperti:
  • lagu "When A Man Loves A Woman", “Warm and Tender Love” dan “Take Time to know Her” dari penyanyi hitam Percy Sledge yang sempat masuk dalam top ten di Rhythm & Blues music
  • A Whiter Shade of Pale dari goup Procol Harum di tahun 1967
  • Lagu-lagu hits Tom Jones seperti Green Green Grass of Home, I'll Never Fall In Love Again, Delilah, Help Yourself, She's A Lady
  • Crimson and Clover oleh Tommy James and the Shondells
  • I love you forever today dari Cliff Richard
  • Yummy, Yummy, Yummy dan Chewy, Chewy dari Ohio Express
  • lagu sensasionil Je t'aime... moi non plus dari Serge Gainsbourg & Jane Birkin
  • Engelbert Humperdinck dengan hitsnya Am I That Easy to Forget, A Man Without Love, Les Bicyclettes de Belsize dan The Way It Used To Be.
  • Creedence Clearwater Revival (CCR) dengan hitsnya Proud Mary, Born on the Bayou, Bad Moon Rising, Lodi, Have you ever seen the rain?
    (saya pernah menulis resensi group band ini di majalah PELANGI, buletin siswa SMAN 2 Padang, dengan mengacu kepada artikel di majalah POPFOTO yang berbahasa Belanda, setelah dibantu papa untuk menterjemahkannya ke bahasa Indonesia)
  • The Cats (band dari Vollendam, Netherlands) dengan lagu-lagu syahdunya Lea, Scarlet Ribbons, Why? dan Marian.
  • Group the Monkees dengan lagu-lagu Valleri, I Wanna Be Free, I’m Believer
  • Beach Boys dengan lagu I Can Hear Music, Do It Again
  • Hello I Love You dari the Doors
  • Lagu My Sentimentil Friend dari Hermans Hermits
  • Lagu I love you forever today dari Cliff Richard
    (saya pernah nekad mencoba menyanyikan lagu ini di depan kelas sewaktu pelajaran Seni Suara di kelas I SMA dengan hasil tidak memuaskan sama sekali, he he ...)
  • Lagu El Condor Pasa dan Bridge Over Troubled Water oleh Simon & Garfunkel
  • The Marmalade dengan lagu-lagunya Reflection of My Life, Wait For Me Marianne, Baby Make It Soon
  • He Ain’t Heavy, he’s my brother dari the Hollies
  • Lagu Don't forget to remember, I Started a Joke, Bury me Down By the River dari the Bee Gees)
  • Venus dari group Belanda, Shocking Blue
  • Lagu Jesamine, Sunflower Eyes dari the Casuals
  • Atlantis oleh Donovan
  • Jumpin' Jack Flash, Honky Tonk Women, Brown Sugar, Angie dari the Rolling Stones
  • Hey Jude, Revolution, Yellow River dari the Beatles dan lain-lain ... sudah lupa

Belakangan karena pertimbangan finansial, saya memilih untuk mengoleksi lagu-lagu dalam media cassette. Waktu itu ada satu tempat rekaman di daerah Pondok yang memungkinkan kita memilih sendiri lagu mana yang akan direkam ke cassette sehingga hanya berisi lagu-lagu pilihan yang disenangi. Memilih lagu-lagu ini merupakan kesenangan tersendiri bagi saya yang bisa berlama-lama di tempat rekaman sambil melihat sang operator mengoperasikan dual tape/cassette recorder merk TEAC untuk merekam dan mengontrolnya dengan menggunakan headphone.

Sayang sekali ketika saya tamat SMA dan hijrah ke Jakarta, semua koleksi diatas terpaksa saya tinggalkan dan saat ini sudah tidak terlacak lagi keberadaannya. What a waste. Padahal di pasar buku bekas, majalah Aktuil dan piringan hitam jadul dihargai tinggi oleh para pembeli yang rata-rata adalah kolektor. Namun setidaknya, hobi di masa kecil hingga remaja itu meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya dan menurun kepada kedua putra saya, walaupun bacaan dan aliran musik mereka sudah jauh berbeda dengan apa yang saya alami.

Ciputat, 12 Desember 2009.

No comments:

Post a Comment