Wednesday, November 30, 2011

Kota Barus: Kisah Pilu Bandar Niaga Internasional Masa Lalu

Bulan Juni 2009 saya tergerak untuk membeli majalah eramuslim digest (edisi koleksi 9) yang bertemakan THE UNTOLD STORY di sebuah toko buku kecil. Salah satu artikelnya yang berjudul “Barus dan Pembalseman Mumi Firaun” membuat saya terheran-heran, karena ternyata di negeri tercinta ini ada sebuah kota kecil yang memiliki sejarah masa lalu yang hebat.

Disitu dikisahkan secara ringkas namun lugas, bahwa kota kecil Barus yang berada di pesisir Barat Propinsi Sumatera Utara itu, diantara kota Singkil dan Sibolga dulunya sangat terkenal. Sesuai dengan namanya, kota Barus merupakan penghasil kapur wewangian yang populer dengan nama kapur barus yang berkualitas tinggi. Konon kota Barus merupakan satu-satunya kota di Nusantara yang pernah dicatat berbagai literatur sejak awal Masehi dalam bahasa Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia dan Cina.
Lebih jauh artikel itu menyebutkan bahwa Claudius Ptolomeus, seorang ahli geografi, astronom yang juga Gubernur Yunani di abad ke-2 Masehi membuat peta yang mencantumkan nama Barousai, sebagai bandar niaga di pesisir Barat Sumatera yang menghasilkan wewangian dari sejenis kapur. Bahkan diceritakan pula bahwa kapur wangi yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dimanfaatkan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun sebelum Masehi.

Karena begitu pentingnya Barus, maka sejak lama sekali dalam dunia dagang dikenal nama-nama baros, balus, pansur, fansur, pansuri (dari desa Pansur sedikit di utara Barus), kalasaputra (dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara kota Barus dan sungai Chenendang), karpura-dwipa, barousai (oleh Ptolomeus), warusaka dan lain-lain.
Prof. Kern pernah menulis bahwa kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain adalah Barus. Begitu pula kerajaan “Ho-lo-tan” dalam tulisan-tulisan Cina, mungkin yang dimaksud adalah Kalasan, daerah penghasil kapur barus yang disebut diatas.
Penjelajah terkenal Marcopolo menjejakkan kakinya di bandar perniagaan Barus pada tahun 1292 M, sementara sejarawan muslim ternama, Ibnu Batutah mengunjungi Barus pada tahun 1345 M.
Berdasarkan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah. Ini memperkuat data bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era tersebut.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa sekitar tahun 625 M – hanya berselang 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab – telah ada kampung kecil yang dihuni pemeluk Islam di sebuah pesisir pantai Barat Sumatera. Kampung ini berada dalam kekuasaan wilayah kerajaan Budha Sriwijaya. Disebutkan pula bahwa di daerah ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan pernikahan. Namun belum ada kesepakatan diantara sejarawan muslim, apakah Barus merupakan lokasi pertama masuknya Islam di Nusantara. Pandangan itu setidaknya mengemuka dalam seminar “Masuknya Islam di Nusantara” yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963. Dalam seminar itu Dada Meuraksa, sejarawan lokal, berkeyakinan bahwa Islam masuk ke Barus pada awal tahun Hijriah, berdasarkan penemuan batu nisan Syekh Rukunuddin diatas.

Batu nisan itu menginformasikan bahwa Syekh Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan, dan 22 hari pada tahun hamim aatu hijaratun Nabi. Tetapi pandangan Dada Meuraksa itu disangkal oleh ulama terkenal Sumut, HM Arsyad Thalib Lubis yang menganggap bahwa bukti nisan tidak dapat dijadikan dasar penentuan. Perbedaan pendapat itu berlangsung hingga belasan tahun lamanya. Baru pada tahun 1978 sejumlah arkeolog dipimpin oleh Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary melakukan penelitian terhadap berbagai nisan makam yang ada di sekitar daerah Barus. Pada penelitian terhadap nisan Syekh Rukunuddin, arkeolog dari Universitas Airlangga itu meyakini Islam sudah masuk sejak tahun I Hijriah. Hal itu berdasarkan pada perhitungan yang menguatkan pendapat Dada Meuraksa yang didukung sejumlah sejarawan lainnya.
Perhitungan masuknya Islam di Barus itu didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus yang bertuliskan aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Makam dengan ketinggian 200 meter lebih, diatas permukaan laut, menurut ustad Djamaluddin Batubara usianya lebih tua dari makam Syekh Rukunuddin, sekitar era 10 tahun pertama dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekkah. Menurut beliau, Syekh Mahmud adalah penyebar Islam pertama di Barus, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut dan murid-muridnya.

Mengutip KOMPAS (Akhir Perjalanan Sejarah Barus, 1 April 2005), Daniel Perret dan kawan-kawannya dari Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerja sama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) melakukan penggalian arkeologi di Lobu Tua (4 km kearah Barat dari Barus). Temuan mereka membuktikan bahwa pada abad IX-XII perkampungan multietnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya juga telah ada di sana. Perkampungan tersebut dikabarkan sangat makmur mengingat banyaknya barang-barang berkualitas tinggi yang ditemukan.

Pada tahun 1872, pejabat Belanda, GJJ Deutz, menemukan batu bersurat tulisan Tamil. Tahun 1931 Prof Dr K A Nilakanta Sastri dari Universitas Madras, India, menerjemahkannya. Menurutnya, batu bertulis itu bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di desa Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan lainnya.
Namun, Lobu Tua yang merupakan kawasan multietnis di Barus ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12 sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi.

Setelah ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni oleh orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini. Situs Bukit Hasang merupakan situs Barus yang berkembang sesudah penghancuran Lobu Tua.

Sampai misi dagang Portugis dan Belanda masuk, peran Barus yang saat itu telah dikuasai raja-raja Batak sebenarnya masih dianggap menonjol sehingga menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa tersebut. Penjelajah Portugis Tome Pires yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur.

"Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Barus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua," demikian catatan Pires.

Tahun 1550, Belanda berhasil merebut hegemoni perdagangan di daerah Barus. Dan pada tahun 1618, VOC, kongsi dagang Belanda, mendapatkan hak istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada bangsa China, India, Persia, dan Mesir.

Belakangan, hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir. Dan sepak terjang Belanda juga mulai merugikan penduduk dan raja-raja Barus sehingga memunculkan perselisihan. Tahun 1694, Raja Barus Mudik menyerang kedudukan VOC di Pasar Barus sehingga banyak korban tewas. Raja Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa kemudian ditangkap Belanda, lalu diasingkan ke Singkil, Aceh.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda dilanjutkan di bawah pimpinan Panglima Saidi Marah. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kemudian mengirim perwira andalannya, Letnan Kolonel Johan Jacob Roeps, ke Barus. Pada tahun 1840, Letkol Roeps berhasil ditewaskan pasukan Saidi Marah, yang bergabung dengan pasukan Aceh dan pasukan Raja Sisingamangaraja dari wilayah utara Barus Raya.

Namun, pamor Barus sudah telanjur menurun karena saat Barus diselimuti konflik, para pedagang beralih ke pelabuhan Sunda Kelapa, Surabaya, dan Makassar. Sementara, pedagang-pedagang dari Inggris memilih mengangkut hasil bumi dari pelabuhan Sibolga.

Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada permulaan abad ke-17. Kerajaan baru tersebut membangun pelabuhan yang lebih strategis untuk jalur perdagangan, yaitu di pantai timur Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka.

Pesatnya teknologi pembuatan kapur barus sintetis di Eropa juga dianggap sebagai salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi yang terpencil.

Kehancuran Barus kian jelas ketika pada tanggal 29 Desember 1948, kota ini dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena Belanda yang telah menguasai Sibolga dikabarkan akan segera menuju Barus.


Panggilan dari Barus

Ketika saya memperoleh kesempatan untuk berkunjung ke Barus atas undangan sesepuh Barus, Prof. Dr. Dachnel Kamars, MA, tentu saja tawaran ini saya sambut dengan sangat gembira.
Ini betul-betul merupakan kesempatan emas untuk melihat sendiri bagaimana kondisi kota kecil yang sempat menjadi emporium di masa lalu.


Begitulah, pada tanggal 30 Oktober 2011 saya yang belum sempat beristirahat setelah kembali dari Papua dan diikuti dengan meninggalnya adik kandung saya, harus berangkat lagi ke Barus melalui Medan dengan didampingi oleh M. Dachyar, anak Prof. Dachnel yang saya kenal baik sejak kecil.



Kami memasuki Barus melalui jalur Sibolga, setelah terbang dengan Wings Air dari Medan ke Sibolga selama 35 menit. Bandar udaranya begitu sederhana, dinamakan bandara Dr. Ferdinand Lumbantobing yang terletak di desa Pinang Sori, sekitar 30 km dari kota Sibolga.

Di bandara, kami sudah ditunggu oleh pak Rivai, staf STKIP Barus yang diutus oleh Prof. Dachnel.
Pemandangan yang terlihat dalam perjalanan dari airport menuju Sibolga dan Barus seakan mengkonfirmasi saya bahwa lokasi ini memang telah luput dari perhatian pemerintah. Kondisi jalan banyak yang rusak, amat kontras dengan apa yang saya lihat di kota-kota propinsi lain seperti Aceh dan Sumbar.


 
Pantai Binasi, Barus dengan pasir putihnya.


Karena ini adalah kunjungan saya yang pertama ke Tapanuli Tengah, Dachyar bertindak sebagai tour guide dengan memperkenalkan beberapa tempat yang kami lewati. Kami singgah sebentar di pantai Pandan yang menjadi areal wisata warga Sibolga, lalu santap siang di Rumah Makan Pak Nas yang terkenal itu. Kami berdua memang sudah kelaparan karena di bandara  Soekarno-Hatta tidak sempat sarapan pagi. Kombinasi antara lapar dan lezatnya lauk, sungguh membuat makan siang kami begitu nikmat.
Perjalanan pun dilanjutkan menuju Barus dengan mengambil jalur di sepanjang pantai, sehingga kami bisa menikmati keindahan dam keasrian pantai Binasi yang berpasir putih di kecamatan Sorkam. Alangkah kontrasnya jika dibandingkan dengan kondisi pantai Ancol di Jakarta.


Akhirnya kami memasuki kota Barus ditengah guyuran hujan menjelang pukul empat sore dan langsung menuju kediaman keluarga Prof. Dachnel. Saya yang kelelahan sempat kawatir, apakah kondisi fisik saya cukup fit untuk melakukan pendakian ke makam Papan Tinggi esok hari. Seolah dapat membaca jalan pikiran saya, pak Dachnel diam-diam telah meminta seorang tukang urut untuk datang pada malam harinya khusus untuk memijat saya dan Dachyar.
Malam itu kami tidur lelap sekali.

Mendaki Makam Papan Tinggi


 

Anak tangga yang begitu panjang menuju makam di puncak bukit.

Pagi hari saya terbangun dengan kondisi badan masih pegal, namun sudah lebih  fit dibandingkan kemaren. Udara pagi di Barus ternyata cukup sejuk walaupun lokasinya tidak jauh dari tepi pantai.

Setelah sarapan pagi saya dan Dachyar berangkat menuju ke Makam Papan Tinggi di desa Pananggahan dengan membonceng dua sepeda motor yang dikendarai Eros dan Bambang, warga setempat.
Uniknya, mayoritas penduduk desa di desa Pananggahan justru masyarakat non-Muslim. Menjelang sampai ke lokasi kami melihat banyak babi peliharaan warga berkeliaran di pekarangan rumah-rumah.
Akhirnya kami tiba di tempat yang dituju. Saya agak terperangah melihat anak tangga yang seolah tiada habisnya menuju keatas bukit. Ternyata istilah makam Papan Tinggi bukan sekedar bualan belaka. Menurut penuturan Prof. Dachnel, anak tangga yang mengular ini dibuat ketika Raja Inal Siregar (alm.) menjadi Gubernur Sumut. Sebelum itu, mereka yang ingin menuju ke makam harus merangkak keatas, seperti yang dilakukan oleh Prof. Dachnel semasa kecilnya. Sungguh sulit untuk membayangkan hal ini.
Saya melihat ke sekeliling. Suasananya begitu teduh dan hening yang diselingi bunyi jangkrik di lingkungan pepohonan karet dan tanaman penduduk.

Awalnya saya berniat untuk mencoba menghitung jumlah anak tangga menuju Makam Papan Tinggi yang oleh salah satu literatur disebutkan sebanyak 744 anak tangga. Tetapi saya menyerah, tidak sanggup. Bukan apa-apa, saya pada akhirnya sudah repot sendiri mengurus pernapasan selama mendaki. Pada tempat-tempat tertentu ada tempat perhentian yang bisa digunakan untuk beristirahat. Di beberapa tempat perhentian sudah dibuatkan tempat duduk menggunakan semen yang kerjakan oleh Eros dan Bambang atas instruksi Prof. Dachnel. Menurut Eros, bangku-bangku itu sengaja buru-buru dikerjakan satu minggu sebelum kedatangan kami supaya bisa digunakan sebagai tempat beristirahat.

Ada satu peristiwa yang aneh terjadi sewaktu Eros, Bambang dan dua tukang lainnya tengah asyik mengerjakan bangku untuk istirahat itu. Tahu-tahu mereka berempat mendengar suara halus menyapa “Assalamu’alaikum”  sementara tidak ada siapapun  di sekitar tempat itu. Mereka berempat akhirnya berpikir bahwa mungkin itu merupakan salam dari penghuni makam, dan meneruskan pekerjaannya.
Saya setidaknya memerlukan 5 kali beristirahat dengan duduk dan mengatur napas sebelum akhirnya berhasil melihat pagar makam dengan kombinasi warna hijau dan biru. Kepenatan yang melanda seakan sirna begitu sampai diatas. Pemandangan kearah lautan lepas maupun ke bukit-bukit sekitar makam begitu mempesona. Ternyata kami membutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencapai lokasi makam.

 

Makam Syekh Mahmud sepanjang 7 meter lebih. 

Alhamdulillah, saya bisa ziarah ke makam aulia yang didalam sejumlah literatur disebutkan sebagai makam Syekh Mahmud, penyebar agama Islam pertama di Barus. Makam tersebut diperkirakan panjangnya sekitar tujuh meter lebih dengan batu nisan besar setinggi 1,5 meter.
Sulit untuk membayangkan bagaimana batu nisan bertulisan Persia dan Arab yang terbuat dari batu cadas dengan berat ratusan kilogram itu bisa diangkut sampai di ketinggian ini.

 
Kompleks Makam Mahligai. 

Singkat cerita, kami pun tidak lupa mengunjungi makam Mahligai yang berlokasi di desa Dakka, hanya beberapa kilometer dari makam Papan Tinggi. Makam seluas 1,5 hektar itu berisikan sekitar 215 makam dengan batu nisan yang besar dan kecil yang ditandai dengan ukiran bergaya Arab. Disinilah tempat dimakamkannya  Syekh Rukunuddin (wafat 48 Hijiriah).


Riwayat Barus, Kini dan Harapan Masa Depan

Melihat kondisi kota Barus saat ini sungguh membuat kita prihatin.
Bagaimana tidak? Kota yang di masa lalu terkenal sebagai penghasil Kapur Barus dan rempah-rempah yang diperdagangkan sampai ke Arab dan Persia kini seperti diterlantarkan. Kota kecamatan ini tidak memiliki tempat penginapan yang memadai, tidak ada apotik dan hanya ada satu mesin ATM (di kantor cabang BRI). Jangan tanya soal convenience store seperti Alfa Mart, Indomaret atau fast food. Kami sempat kesulitan ketika ingin membeli Coca Cola kaleng di Barus.
Tidak heran jika Prof. Dr. Dachnel Kamars, MA sebagai sesepuh yang dituakan di Barus saat ini merasa sangat prihatin akan kemunduran kota Barus. Itulah yang membuat beliau terpanggil untuk kembali untuk membangun kampung halamannya , sementara mayoritas warga Barus pergi merantau ke kota-kota besar. Beliau memulainya dengan satu aktivitas yang paling mendasar, yaitu pendidikan dengan membuka Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Barus yang kini memiliki 600 mahasiswa. SDM memang merupakan isu yang paling krusial bukan hanya di Barus, tapi juga di daerah-daerah lainnya.

Seperti diutarakan oleh KOMPAS, Barus yang berjarak sekitar 414 km dari kota Medan tampaknya memang telah terlupakan. Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan. Dominasi pembangunan pantai timur ini bisa dilihat pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan. Sedangkan untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan. Kini, Barus tak lebih dari kota kecamatan lain di daerah pinggiran yang hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian besar warganya meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah.









Barus terkenal sebagai penghasil ikan kering .                                    Coklat, salah satu produksi Barus

Apakah Barus bisa bangkit kembali sebagai salah satu kota dan bandar niaga kelas internasional sebagaimana masa  lalunya, itu sangat tergantung kepada keseriusan pemerintah pusat, pemerintah setempat serta warga Barus dalam mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya alam dan wisatanya yang melimpah itu. Semoga saja!

Aswil Nazir (9 November 2011)

DAFTAR PUSTAKA
  • Eramuslim digest, edisi koleksi no. 9, 2009
  • Akhir Sejarah Perjalanan Barus, KOMPAS, 1 April 2005
  • Barus, pintu masuk Islam pertama di Indonesia, WASPADA ONLINE, 7 Agustus 2011 (http://www.waspada.co.id) 
  • Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Bab I bagian 4, Kota Barus dan Kebudayaan Asal India Selatan, 1981.
  • Claude Guillot, Daniel Perret, Atika Suri Fanani (Translator), Marie-France Dupoizat, Untung Sunaryo, Heddy Surachman, Barus: Seribu Tahun Yang Lalu, KPG, 2008

No comments:

Post a Comment