Saturday, February 11, 2012

Hallyu: Demam Korea Yang Membius

Beberapa hari yang lalu saya melihat satu narasi artikel yang menyebut  Virus budaya kontemporer Hallyu yang mengakibatkan "demam Korea" sudah menginfeksi Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.

Hemm, istilah apa lagi nih, pikir saya dalam hati. Sayangnya artikel itu tidak sempat saya baca keseluruhannya karena sedang terburu-buru untuk urusan lain. Belakangan ketika sedang santai, saya coba nanya ke mbah google perihal demam Korea dengan menggunakan keyword “hallyu”. Hasilnya? Sungguh mencengangkan buat saya yang sudah cukup lama tidak memperhatikan negeri ginseng tersebut.



 Seoul di tahun 1980 an
Saya pertama kali menginjak kaki di Seoul, ibukota Korea Selatan pada tahun 1983, hampir 29 tahun yang lalu. Ketika itu Korea terkesan baru bangkit dengan suasana ibukota yang mulai dipenuhi oleh skyscrapers (gedung perkantoran bertingkat tinggi). Jakarta jelas tertinggal jauh, namun Korea secara umum masih berada dibawah bayang-bayang kejayaan Jepang. Belakangan saya sempat mengulangi kunjungan ke Seoul pada tahun 1986 dan terakhir kali tahun 1989 untuk keperluan training. Kota Seoul terlihat semakin berkembang dan menarik bagi orang asing.

Bicara tentang Seoul atau Korea secara umum, ada beberapa kenangan yang masih tersisa di memori saya. Yang pasti, saya tidak mungkin lupa dengan Lotte department store yang gedungnya menjadi tempat favorit bagi para turis. Di tahun 80 an saja gedung Lotte sudah terlihat megah dan komplit isinya. Tapi entah kenapa, saya paling tertarik dengan aneka permen yang dipajang di Lotte tersebut. Ternyata perasaan saya tidak salah, karena Lotte itu awalnya adalah perusahaan permen karet yang didirikan tahun 1948 di Jepang. Konon nama Lotte diambil dari dari nama tokoh CHARLOTTE dalam kisah The Sorrows of Young Werther. Pemuda Takeo Shigemitsu si pendiri perusahaan Lotte sangat mengagumi dan menjadikan gadis muda Charlotte sebagai sumber inspirasi.

Satu hal lagi yang juga tidak saya lupakan adalah cara  beroperasinya taksi di Seoul. Ketika saya menaiki taksi untuk kembali ke hotel sehabis jalan-jalan ke Lotte department store,  tahu-tahu ditengah jalan taksi saya diberhentikan orang lain dan dipersilahkan naik sama sang sopir. Saya cuma melongo dan tidak sempat bertanya kenapa penumpang lain diijinkan naik. Sempat berpikir, kok taksi disini beroperasinya ibarat angkutan umum yang boleh menaikkan penumpang lain di jalanan. Belakangan saya memperoleh penjelasan bahwa taksi disana memang begitu, kecuali kalau sedari awal kita bilang sama sopir taksinya untuk tidak sharing dengan penumpang lain, dan tentu saja bayarannya akan berbeda. Saya tidak tahu apakah pola operasi taksi sharing seperti itu masih ada sekarang.

Satu lagi hal yang berkesan buat saya adalah buah jeruk berukuran kecil yang rasanya manis sekali yang disebutkan berasal dari pulau Jeju (Jeju Island). Perlu diingat bahwa pada saat itu (tahun 80 an) buah-buahan impor masih sangat langka di Indonesia dan harganya selangit. Ketika saya masih sering bertugas ke Pekanbaru di awal tahun 90 an, banyak kios-kios buah yang menawarkan buah import seperti sunkist, apel, anggur dan pear (selundupan) dari Singapore. Buah import ini banyak diminati oleh para pelancong sebagai buah tangan ketika kembali ke kota asalnya. Kini buah-buahan impor sudah banyak kita temui di toko buah atau supermarket di kota-kota besar Indonesia.

Korea Selatan menurut hemat saya boleh dibilang sebagai salah satu pioneer dalam jiplak menjiplak produk, jadi bukan Cina. Di akhir tahun 80-an, produk branded seperti tas wanita dan sepatu merk terkenal sudah bisa ditemui imitasinya di lokasi pasar gelap Seoul. Hebatnya, produk jiplakan ini juga punya kualitas yang berbeda-beda, dari yang paling mirip sama aslinya (premium class), lalu KW1 hingga KW3. Tentu saja harga yang ditawarkan sesuai dengan kualitas yang dimiliki produk tersebut. Belakangan ternyata Cina juga mengikuti jejak Korea ini.

Nasionalisme dan semangat kerja orang Korea menurut saya tidak kalah dengan Jepang, walau mereka tidak mau disamakan dan terkesan punya "dendam" sama orang Jepang. Sewaktu pertama kali mengunjungi Seoul di tahun 1983, saya dijamu makan malam sama salah seorang teman Korea. Dia datang ke hotel tepat waktu sambil membawa buah tangan berupa gantungan kunci khas Korea, tape cassette lagu pop Korea dan jeruk Jeju yang manis itu. Lalu saya ditraktir makan di restoran Korea tentunya, sambil diterangkan menunya satu persatu. Terasa sekali betapa mereka sangat membanggakan produk dan segala sesuatu yang berbau Korea. Pertemuan malam itu diakhiri menjelang pukul 10 malam karena sahabat saya itu harus menemui customernya di pub untuk urusan bisnis. Karena melihat saya terheran-heran, dijelaskannya bahwa appointment dengan customer di malam hari untuk urusan bisnis itu hal yang biasa di Korea. Saya hanya geleng-geleng kepala, kinerja dan stamina kerja orang Korea ternyata jauh berbeda dengan rata-rata pekerja di negara kita. Di Indonesia, jam kerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore pun sering di korting, alias menghilang di tengah jam kerja.

Korean Wave, sejak kapan?
Hallyu atau Korean Wave ("Gelombang Korea") adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia. Umumnya Hallyu memicu banyak orang-orang di negara tersebut untuk mempelajari Bahasa Korea dan kebudayaan Korea.

Kegemaran akan budaya pop Korea dimulai di Republik Rakyat Cina dan Asia Tenggara mulai akhir 1990-an. Istilah Hanliu, (Bahasa Korea: Hallyu) diadopsi oleh media Cina setelah album musik pop Korea, HOT, dirilis di Cina.  Serial drama TV Korea mulai diputar di Cina dan menyebar ke negara-negara lain seperti Hongkong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin dan Timur Tengah. Pada saat ini, Hallyu diikuti dengan banyaknya perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film. Fenomena ini turut mempromosikan Bahasa Korea dan budaya Korea ke berbagai negara.

Berbagai stasiun televisi Indonesia mulai menayangkan drama produksi Korea Selatan setelah RCTI yang mempelopori pemutaran drama Endless Love (Autumn in My Heart).  Para sineas drama di Korea mulai menyadari daya jual drama Korea sangat tinggi di negara-negara tetangganya sehingga produksi serial mereka menjadi komoditas ekspor.  Puncaknya terjadi saat serial Winter Sonata diputar di Jepang, Cina, Taiwan dan Asia Tenggara.  Sejak saat itu istilah "Hallyu" atau "demam Korea" muncul.

Demam Korea rupanya berdampak begitu jauh dan terkadang membuat penggemarnya berlaku di luar nalar. Lihat saja kisah Rhiannon Brooksbank-Jones, seorang pelajar kelahiran Inggris yang nekad mengoperasi lidahnya agar dapat melafalkan bahasa Korea dengan sempurna. Pasalnya, Jones yang sudah mengambil kursus bahasa Korea selama dua tahun merasa kesulitan mengucapkan beberapa kata dengan tepat.

Seorang wanita asal Taiwan yang keranjingan serial drama Korea hampir kehilangan penglihatannya. Wanita berusia 40 tahun ini dilaporkan selama tiga hari berturut-turut hanya tidur dua jam demi menyaksikan serial drama Korea kesayangannya. Seperti dikutip dari situs Soompi, setelah menyadari penglihatannya telah berubah kabur, wanita itu bergegas mendatangi rumah sakit. Ia ingin mengetahui kondisi kesehatan matanya. Seperti dilaporkan media Taiwan, ia didiagnosis menderita glaukoma ganas yang mungkin bisa membuatnya buta.

Drama Korea memang merupakan salah satu penyebab Hallyu di sejumlah negara. Drama Korea terkenal dengan ceritanya yang bagus, seru, dan selalu bikin penasaran. Membuat orang yang menggemari drama pasti tergila-gila dengan Drama Korea dan tidak sabar ingin menonton kelanjutannya, bahkan ada yang bener-bener Korea addicted, sampai-sampai berulang-ulang nonton drama Korea yang disukainya tanpa bosan, seperti drama Korea fenomenal Secret Garden yang telah meraih berbagai penghargaan (award) di tahun 2010 dan 2011.

Virus hallyu yang melanda dunia secara mengejutkan telah membuat budaya Korea menjadi barometer para penggemarnya di berbagai negara. Banyak diantara mereka yang rela melancong ke negeri ginseng yang berada di Semenanjung Asia Timur itu hanya untuk menonton konser artis idola dan berbelanja pernik-pernik Korea. Lebih hebat lagi, malah ada paket tour ke Korea untuk napak tilas mengunjungi lokasi-lokasi tempat syuting drama Korea yang populer.

Demam K-Pop rupanya bukan hanya melanda negara-negara di Asia, tetapi juga merambah ke Amerika. Salah satu girlsband yang terdiri dari 9 gadis cantik, Girl’s Generation atau SNSD membuat debut di Amerika dengan tampil pada ‘The Late Show with David Letterman‘ pada tanggal 1 Februari yang lalu.Talk show TV David Letterman ini terkenal dengan tamu-tamu selebritinya, mulai dari bintang papan atas Hollywood hingga politisi, atlet, dan penyiar berita. Program ini dianggap sebagai salah satu program TV tengah malam yang paling popular di Amerika.

Seharusnya belajar dari Korea
Apa yang ditulis diatas sesungguhnya hanya sebagian dari virus hallyu yang melanda dunia. Dalam sektor bisnis seperti segmen produk elektronika dan otomotif, K-wave juga mendominasi di banyak negara. Di jaman dahulu, ketika disebutkan nama Korea, kita biasanya teringat akan ginseng dan taekwon-do. Tapi kini, segmen industri kita dibanjiri oleh produk-produk Korea. Iklan merk seperti LG, Hyundai, Samsung misalnya, bisa kita temui dimana-mana. Lotte Mart yang bergerak di sektor retail mulai bersaing dengan outlet-outlet lokal sebagaimana hanya dengan restoran-restoran Korea.
Kita patut bertanya, apakah serangan K-Wave ini hanya faktor kebetulan atau memang merupakan hasil dari sebuah kerja keras?

Sebagai manusia yang berpikir, tentu saja kita akan cenderung menyatakan bahwa  kemajuan pesat yang dialami Korea Selatan adalah hasil dari kerja keras baik dari pemerintah maupun anak bangsanya. Banyak faktor penyebab suksesnya yang kalau dalam dunia bisnis disebut “key success factors”.

Faktor nasionalisme menurut hemat saya memegang peranan penting, disamping semangat kerja dan daya juang yang kuat. Faktor "dendam" bangsa Korea terhadap Jepang agaknya menjadi salah satu pemicu yang efektif dalam pencapaian prestasi industri mereka. Dari sisi pemerintah, sektor pendidikan sejak puluhan tahun lalu sudah diperkuat dengan alokasi dana pendidikan dan penguatan bidang matematika dan sains. Tampaknya pemerintah mereka sadar betul bahwa kekuatan SDM di bidang matematika dan sains merupakan fondasi bagi kualitas produk industrinya kelak. Di bidang hukum pemerintahnya juga “committed” dan memberantas korupsi tanpa pilih bulu. Sungguh ibarat siang dengan malam jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di negeri kita. Tapi yang paling penting dan krusial adalah faktor perencanaan yang matang dan komprehensif. Pemerintah Korea paham betul akan tujuan yang ingin dicapai dan apa fokus dan prioritasnya.

Singkat kata, kemajuan dan leadership Korea Selatan dalam hampir semua aspek adalah hasil dari kerja keras seluruh komponen bangsa mereka dengan endurance yang belum tertandingi oleh negara-negara lain. Jadi sama sekali tidak ada “magic” disini. Bukankah itu sesuai dengan prinsip “no pain no gain”?

Namun apa yang terjadi di negara kita, kondisinya sungguh kontras. Kalau faktor dendam anak bangsa Korea terhadap Jepang bisa menjadi pemicu prestasi, seharusnya kita juga bisa berbuat yang sama. Bukankah kita juga pernah lama dijajah oleh Belanda dan lalu oleh Jepang? Kenapa ya, rasa "sakit hati" itu tidak mampu kita translasikan menjadi cambuk penyemangat untuk mengalahkan negara-negara penjajah itu dalam sektor industri, SDM dan seni budaya seperti halnya kasus Korea? Apa yang terjadi di bumi pertiwi belakangan ini justru tumbuh kembangnya perilaku oportunis, hedonis dan prinsip yang ingin serba instan, tapi tidak mau bekerja keras.
Nah, ini kan jelas-jelas melanggar konsep sunnatullah. Yang namanya keberhasilan dan kesuksesan itu tidak ujug-ujug jatuh dari langit, tapi harus melalui proses. Saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya mukjizat seperti yang dikaruniai  Tuhan kepada para Nabi di masa lalu.

Annyeonghaseyo kawan-kawan ...

Ciputat, 11 Februari 2012.

No comments:

Post a Comment