Sunday, January 8, 2012

Antara Teknologi Maju dan Alam Yang Terkembang

  Pepatah “Belajar dari alam yang terkembang” agaknya perlu dirunut ulang atau direvisi kembali. Bukannya mengingkari leluhur atau mau sok pintar, tapi saya hanya merasa kesulitan untuk mewujudkan himbauan bijak itu di abad modern, abad serba hi-tech saat ini.

Falsafah arif diatas sesungguhnya telah teruji berabad-abad dan diamini oleh banyak pemikir di bumi nusantara ini, itu tidak mungkin salah. Mewujudkan harapan untuk dekat dengan alam, semestinya tidak susah-susah amat tentunya. Mereka yang hidup di alam pedesaan, di lereng gunung Merapi misalnya, pasti paham sekali betapa bijaksananya para orang tua kita tempo doeloe. Sungguh banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik oleh manusia yang katanya ciptaan Allah paling mulia ini, dari peristiwa yang terjadi di alam semesta.

Di abad-abad silam, nenek moyang kita bisa hidup tenang dan akrab dengan alam. Mereka bertani tanpa merusak gunung dan ekosistem, padahal mereka tidak pernah duduk di sekolah tinggi atau magister pertanian manapun. Mereka melaut dan menangkap ikan tanpa merusak terumbu laut atau mengotori laut dengan sampah manusia.

Kini, pendidikan manusia di dunia telah sedemikian majunya. Di kota-kota besar kita bisa lihat dengan kasat mata betapa banyaknya dan sekolah-sekolah tinggi yang menawarkan gelar yang ditengarai akan meningkatkan harkat dan martabat si penyandangnya. Syaratnya cuma satu, harus punya kocek yang cukup tebal. Lha jelas tokh? Apapun harus pake duit di jaman hi-tech dan hedonis ini.

Tapi bukan cuma pendidikan umum saja yang berkembang pesat. Di negeri ini sekolah-sekolah agama tidak mau kalah, juga bertaburan. Tidak cukup dengan itu, kelompok pengajian, kelompok zikir pun belakangan ini semakin banyak kita temui di hampir semua kota besar bumi pertiwi ini. Kita tentu akan bersyukur dalam hati, bahwa ternyata kehidupan manusia Indonesia bukan melulu mengejar materi dan duniawi, tetapi juga urusan spiritual.

Namun ironinya, apa yang kita saksikan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari sungguh membuat cemas hati ini.
Manusia yang seharusnya paripurna ini, yang telah mengenyam pendidikan tinggi dan rohaninya berisikan ayat-ayat Allah, kok masih banyak yang berperilaku anomali, yang melanggar rambu-rambu Sang Pencipta serta merusak alam ciptaan-Nya? Kehidupan yang modern serta teknologi tinggi membuat si manusia lupa diri, ibarat kacang yang lupa pada kulitnya, melupakan alam semesta yang memayungi dan melindunginya.

Seyogyanya seseorang yang memiliki pendidikan tinggi itu semakin arif dan bijaksana. Bukankah ada pepatah, bahwa padi itu semakin berisi semakin merunduk. Tapi apa yang kita saksikan saat ini, rata-rata kejahatan dan penyelewengan kelas kakap di kota-kota besar, pelakunya justru mereka yang status dunianya terhormat, orang-orang terpelajar. Mereka pun menjarah masuk ke pelosok, ke daerah-daerah terpencil yang memiliki kekayaan alam melimpah. Alam pun dikuras dan dirusak, demi untuk memuaskan nafsu lawwamah mereka. Astaghfirullah!

Allah sesungguhnya Maha Tahu, sehingga jauh-jauh hari telah mengingatkan umatnya untuk tidak merusak alam. Lihat saja salah satu penggalan terjemahan firman-Nya berikut ini:
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (Q.S. Ar Rum (30) : 41-42

Juga di dalam surat Al Baqarah Allah SWT telah memberi peringatan: “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. 2 : 11).

Intinya, ternyata pendidikan tinggi itu tidak serta merta berbanding lurus dengan perilaku dan pribadi seseorang. Banyak diantara kita yang seolah pohon yang telah tercerabut dari akarnya, sehingga tidak lagi akrab dengan alam.
Ada yang menyalahkan teknologi yang saking majunya membuat manusia lupa diri, lupa  segalanya.
Ah, masa iya sih?

Baiklah kita longok sejenak, dunia modern dewasa ini yang bisa membuat teknologi menjadi kambing hitam. Tentu banyak diantara kita yang telah pernah mendengar istilah cyberspace (dunia maya). Perkembangan teknologi satu dekade terakhir ini nyaris mencengangkan orang awam dan membuat cemas para humanis yang mencermati pesatnya pergerakan teknologi ini terutama di era Internet saat ini.

Salah satu humanis yang gencar mengumandangkan kegalauan hatinya terhadap perkembangan teknologi ini adalah Mark Slouka, seorang dosen di bidang sastra dan budaya di Universitas California, San Diego. Dalam bukunya, War od the Worlds: Cyberspace and the High-tech Assault on Reality (terjemahan Indonesianya berjudul Ruang Yang Hilang: Pandangan humanis tentang Budaya CYBERSPACE Yang Merisaukan). Mark mengungkapkan kegelisahannya terhadap realitas maya yang begitu digandrugi manusia modern. Ia begitu risau melihat betapa banyaknya orang yang tergiur dengan cyberspace ini sehingga rela menghabiskan waktunya berjam-jam untuk chatting (bercengkerama) dengan teman-maya yang tidak dikenalnya. Teknologi cyberspace ini ternyata lebih maju dari pemikiran manusia secara umumnya. Ia menawarkan opsi buat para penggunanya untuk bergaul di dunia maya tanpa menunjukkan identitas aslinya, sehingga seseorang akan semakin bebas untuk berekspresi dan beraksi di pentas fiktif itu. Kita bahkan bisa memanipulasi gender dimana seorang pria dewasa bisa saja mengaku sebagai gadis remaja dengan menggunakan atribut palsu. Mereka begitu menikmati peran tersebut dan meyakini itu sebagai kenyataan, sehingga tidak heran jika ada yang punya pacar di dunia maya. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa kawatir kepergok Hansip sehingga populerlah apa yang disebut cybersex, cyberorgasm, cybermasturbation dll. Dan karena semua serba maya, bisa jadi seorang pria yang menyaru sebagai anak gadis, berpacaran dengan anak muda di dunia maya (padahal mungkin saja pacarnya itu adalah seorang pria tua yang menyamar jadi anak muda).

Sebagian besar mereka ini sesungguhnya paham bahwa realitas sesungguhnya bisa saja berbeda dengan yang digelutinya di alam maya ini, tetapi mereka tampaknya begitu menikmati itu dan umumnya tidak lagi tertarik untuk bertatap muka (copy darat). Bagi mereka ini tampaknya batasan antara dunia realitas dengan dunia maya sudah blur, sudah tidak jelas lagi.

Kini pertanyaannya, apakah ketidak jelasan batasan antara dunia realitas dengan dunia maya hanya dilakukan oleh mereka yang rajin chatting saja? Jawabannya jelas tidak.
Coba simak dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Betapa banyak orang, dari anak-anak hingga orang tua yang akrab dengan gadget seperti handphone. Ketika berada didalam angkutan umum, sewaktu berbelanja di mall, ketika dirawat rumah sakit, atau (maaf) di dalam toilet, mereka bisa dengan enteng berkomunikasi dengan teman, pacar atau orang tuanya di manapun, sejauh sinyal handphone bisa ditangkap. Seorang tokoh yang menjadi moderator di sebuah seminar diam-diam bisa berchatting ria melalui gadget mungil ditangannya sementara pemakalah tengah memberikan paparannya.

Fenomena diatas sesungguhnya menunjukkan betapa kita (manusia) dewasa ini sudah masuk ke alam cyber, suka atau tidak suka. Seorang suami yang sedang berada dalam department store di Eropa, bisa berkomunikasi dengan isterinya melalui handphone untuk menanyakan barang yang akan dibelinya, apakah sudah sesuai dengan kemauan sang isteri. Bahkan kalau perlu barangnya bisa difoto dulu dengan Blackberry, lalu dikirim via BBM agar bisa dikonfirmasi sang isteri bahwa memang itu yang dimauinya. Dalam hitungan detik ia bisa memperoleh kepastian dan tidak akan terjadi kesalahan dalam berbelanja. Semua dilakukan serba instan, bukan jamannya lagi berkomunikasi via kartu pos atau surat. Selamat tinggal kantor pos.

Apa yang kita bahas diatas menunjukkan betapa seseorang bisa berada di dua tempat sekaligus. Saya secara fisik sedang berada di Jakarta, dalam ruang kelas misalnya, tetapi pada saat yang sama bisa berada di lokasi yang nun jauh disana. Dengan bantuan perangkat komunikasi saya bisa bincang-bincang dengan sahabat saya yang lagi berada di tepi danau Sentani,  Jayapura. Bahkan bisa turut menyaksikan keindahan danau tersebut secara visual dengan bantuan komunikasi 3G. Alam pikiran saya telah hadir di Papua sementara saya tengah berada di dalam kelas di Jakarta.

Beberapa tahun lalu, ketika salah seorang teman berkisah tentang kemampuan kakeknya yang diyakini bisa berada di dua lokasi pada satu saat yang bersamaan, saya hanya mengomentarinya dengan senyum. Sungguh sebuah cerita yang sulit diterima akal. Ketika itu saya tidak mampu untuk mencerna dan mempercayai kisah tersebut. Padahal cukup banyak cerita semacam itu yang disampaikan para orang tua kita jaman dahulu. Saya menganggapnya sebagai bumbu cerita saja.

Namun ketika tidak sengaja membaca buku “The Science and Miracle of Zona Ikhlas” dari Erbe Sentanu yang menyinggung soal teori dan alam kuantum, saya jadi terpana. Buku tersebut ditulis dalam bahasa populer yang menarik dan memuat banyak konten ilmiah termasuk tentang fisika kuantum. Disitu disebutkan bahwa di dalam alam yang berisikan benda-benda kuantum yang sangat sulit dilihat (quanta) berlaku prinsip-prinsip:
  1. Keterkaitan quantum entanglement (bahwa kita semua saling bertautan dalam zona informasi raksasa)
  2. Adanya pusat informasi raksasa yang merekam semua perubahan dan pergerakan yang terjadi pada setiap atom di alam semesta.
  3. Kita dan seluruh alam sebagai bagian dari jaringan komunikasi raksasa itu di tingkat atom memiliki fungsi seperti antena untuk menerima dan mengirim informasi dari dan ke penjuru jagat raya.
  4. Kecerdasan prinsip-prinsip non-lokal diatas menjelaskan bahwa di tingkat kuantum; semua benda di seluruh alam sesungguhnya juga berada di tempat lain pada saat bersamaan.
Poin nomor 4 diatas merupakan sesuatu yang hampir tidak pernah kita dengar (sebagai orang awam). Statement diatas diperkuat oleh ilmuwan Marcus Chown berikut ini:
Ini bukan fantasi teoritis. Dalam eksperimen telah dibuktikan bahwa photon atau atom bisa berada di dua tempat sekaligus – hal itu setara dengan Anda berada di San Fransisco dan di Sydney pada saat yang sama.”

Kalau begitu, tampaknya para leluhur kita telah sangat paham dengan alam semesta sehingga bisa melebur dan memanfaatkan prinsip yang berlaku di alam kuantum. Sementara soal keakraban dengan alam semesta sesungguhnya merupakan isu besar pada era cyberspace ini.

Nenek moyang kita dan mereka yang hidup di pedalaman dan belum tersentuh teknologi lebih mampu memahami perilaku dan sifat-sifat alam karena mereka sehari-hari bergaul dengan alam. Seorang petani akan dekat dengan alam karena setiap hari bercocok tanam, paham dengan bau khas tanah, warna dan tekstur tumbuhan obat di lokasinya. Sementara mereka yang melewati daerah itu dengan kendaraan bermotor, akan memperoleh pengalaman (moment of truth) yang berbeda. Ia tidak mungkin dapat merasakan bau atau apalagi menyentuh pepohonan yang dilewatinya. Kecepatan gerak telah menjauhkan kita, menciptakan jarak dengan alam. Dalam komentarnya Mark Slouka dikatakan bahwa kendaraan (mobil) telah mengisolasi kita; dunia yang berada di balik kaca jendela – apakah itu padang rumput ataukah ladang pertanian – tampak tidak nyata. Pada kecepatan supersonik keterceraian itu menjadi sempurna. Pemandangan dari ketinggian 10.000 meter adalah sebuah abstraksi, tidak serupa dengan kenyataan, hanya bak lukisan belaka. Sehingga tentu saja akan sulit untuk mengharapkan manusia modern yang tidak akrab dengan alam, untuk menimba pelajaran dari alam yang terkembang. Mereka jarang sekali memperoleh moment of truth, pengalaman berinteraksi dengan alam. Di mata mereka, pengalaman itu sama saja dengan apa yang mereka saksikan di realitas maya seperti visualisasi video/film sehari-hari. Padahal itu bukanlah realitas nyata karena mereka sesungguhnya telah tersolir dari alam, pemandangan yang disaksikannya dari balik kaca.

Maka tidak heran jika banyak anak-anak dari kota besar yang menjadi cerewet dan antusias ketika diajak orang tuanya menyusuri alam pedesaan yang hijau, bertanya tentang tumbuhan atau hewan yang tidak pernah dijumpainya di tempat mereka dibesarkan. Mereka bisa menikmati dan menyentuh bunga, merasakan sejuknya embun pagi, menangkap kupu-kupu indah atau mungkin dikejutkan oleh melintasnya hewan liar. Inilah realitas nyata yang masih belum bisa disaingi oleh dunia cyber. Tapi kalau teknologi sudah bisa menemukan cara untuk mentransmisikan rasa dan bau, saya tidak bisa lagi membayangkan bagaimana kondisi kehidupan di dunia ini nantinya. Di masa depan, seorang gadis yang sedang bercakap-cakap dengan pacarnya melalui komunikasi video tidak bisa lagi berbohong bahwa ia telah memakan petai, karena aroma petainya tercium sama sang pacar di ujung sana. 

Kini semuanya terpulang kepada si manusianya. Begitu banyak fasilitas dan kemampuan teknologi yang tersedia. Tinggal kita saja yang harus menentukan, apakah itu akan digunakan untuk kemaslahatan manusia atau digunakan untuk merusak dan membuat kemudaratan.

Ciputat, 8 Januari 2012.

No comments:

Post a Comment